Panglima TNI Bakal Tindak Tegas OPM: Tak Ada Negara dalam Negara

Jakarta, IDN Times - Penyebutan kelompok bersenjata di Papua kembali diubah. Dari semula Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST), kini kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pengubahan nama tersebut dilakukan secara formal, atas perintah tertulis dari Panglima TNI kepada seluruh jajaran TNI.
Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, mengatakan KKB sendiri menyebut mereka sebagai Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB), sehingga menurut Agus, hal itu sama saja dengan OPM. Selain itu, kata dia, kelompok tersebut sudah melakukan berbagai tindak kriminal kepada warga sipil di Papua.
"Jadi, dari mereka sendiri menamakan diri TPNPB (Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat), itu sama dengan OPM. Sekarang mereka sudah melakukan berbagai teror, pembunuhan, pemerkosaan kepada guru hingga tenaga kesehatan. Pembunuhan kepada masyarakat, personel TNI dan Polri. Masak harus kita diamkan seperti itu?" tanya Agus di Jakarta Pusat, Rabu (10/4/2024).
Agus menjelaskan OPM adalah kombatan yang menenteng senjata. Karena itu, TNI akan mengambil tindakan tegas terhadap mereka. "Tidak ada negara dalam satu negara!" tegasnya.
Lantas, apa dampak perubahan penyematan nama KKB menjadi OPM terkait situasi keamanan di Papua?
1. Operasi TNI di Papua dilakukan dengan mengukur indeks kerawanan
Lebih lanjut, Agus mengatakan, ada beberapa jenis operasi TNI yang dijalankan di Papua. Tidak semuanya diberlakukan operasi teritorial. Semua kebijakan yang diambil menyesuaikan tingkat indeks kerawanan di Bumi Cendrawasih.
"Namanya operasi dalam suatu wilayah, ada operasi teritorial, intelijen hingga tempur. Itu berdasarkan indeks kerawanan dari wilayah tersebut. Mungkin di Papua, penanganannya berbeda dibandingkan wilayah lain. Kami punya metode sendiri untuk penyelesaian masalah," ujar dia.
Namun, menurut Panglima TNI, dalam berhadapan dengan OPM, satu-satunya yang bakal digunakan prajurit TNI yakni senjata. "Senjata ya dihadapi dengan senjata. Tetapi kami juga menggunakan operasi teritorial untuk mempercepat pembangunan hingga kesejahteraan warga di sana," katanya.
Agus menegaskan banyak prajurit TNI yang ikut menjadi guru, karena terbatasnya tenaga pendidik di sana. "Mereka juga memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tetapi, selalu diganggu (OPM)," tuturya.
Ia memberikan contoh tiga hari yang lalu ketika prajurit TNI sedang memberikan pelayanan kesehatan malah diganggu OPM. "Masak hal-hal semacam itu harus didiamkan," ujarnya.
2. Perubahan nama berdampak pada siapa yang ada di garda terdepan, antara TNI dan Polri
Sementara, menurut Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, perubahan penamaan itu berdampak kepada siapa yang berada di garda terdepan dalam implementasi operasi. Bila masih menggunakan istilah Kelompok Separitis Teroris (KST), maka di level teknis organisasi, personel Polri yang berada di depan.
"Sekarang ketika dibalikan lagi ke istilah separatis, artinya berganti lembaga, yang handle TNI. Intinya bila ada terorisme harus melalui penegakan hukum, melibatkan Kemendagri dan Polri. Tetapi ketika diubah menjadi separatis, maka yang dilibatkana pertahanan internal atau eksternal dan TNI yang ada di garda depan," ujar Julius kepada IDN Times, kemarin.
Julius menduga ada kepentingan dan tarik menarik antara kedua instansi aparat tersebut.
3. TNI pernah jadi sorotan karena menganiaya warga sipil Papua
Sebelumnya, TNI sempat menjadi sorotan karena terbukti menganiaya seorang warga sipil Papua yang mereka tuduh sebagai anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Proses penganiayaan itu sempat direkam hingga videonya viral di media sosial. Korban diketahui bernama Definus Kogoya.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Kristomei Sianturi, mengatakan Definus dan dua orang lainnya disebut akan membakar puskesmas di Omukia, Papua.
Namun, usai Definus dimintai keterangan, ia dibebaskan lantaran anggota kepolisian tidak memiliki bukti cukup untuk menuduh Definus hendak membakar puskesmas tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun menyesalkan prajurit TNI terlibat penganiayaan warga sipil di Papua. Mereka berharap pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan proses penegakan hukum yang transparan dan adil terhadap kasus tersebut.
Selain itu, Komnas HAM juga mendorong agar pemerintah memperbaiki strategi pendekatan keamanan di Papua, agar dapat meredam intensitas kekerasan dan menghindari jatuhnya korban.
"Komnas HAM juga menegaskan kembali bahwa penggunaan kekerasan dalam gerakan politik tidak dapat dibenarkan. Untuk itu, Komnas HAM meminta semua pihak agar menahan diri untuk mencegah eskalasi konflik di Papua," ujar Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam keterangan tertulis pada 22 Maret 2024.