Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat menyambangi korban ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara yang dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Sabtu (8/11/2025)
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat menyambangi korban ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara yang dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Sabtu (8/11/2025) (Dok. Humas Polri)

Intinya sih...

  • Prematur menyimpulkan siswa F bertindak sendiri dalam aksi peledakan di SMAN 72

  • Kejanggalan juga dinilai terlihat dari kemampuan dan pembelian perlengkapan bom oleh siswa F

  • Apakah ada pihak yang memengaruhi atau memanfaatkan siswa F?

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Eks Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta pemerhati pendidikan dan anak, Retno Lisyarti, meminta adanya penelusuran dugaan pemanfaatan anak dalam kasus peledakan SMAN 72 Jakarta.

Retno menjelaskan banyak kejanggalan dalam menarik kesimpulan semua hal yang dilakukan F sebagai ABH dilakukan seorang diri. Mulai dari merakit bom, membeli perlengkapannya, membawanya dan meledakannya.

“Pengungkapan dugaan adanya pemanfaat anak-anak untuk melakukan terror di SMAN 72 Jakarta akan sangat bermanfaat ke depannya, untuk melindungi anak Indonesia lainnya di seluruh sekolah di Indonesia. Mari lindungi anak-anak kita," kata Retno dalam keterangan resmi kepada IDN Times, Jumat (14/11/2025).

1. Prematur menyimpulkan anak F bertindak sendiri

Pelaku Ledakan SMAN 72 Ditetapkan Sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Menurut Retno, prematur menyimpulkan anak F bertindak sendiri. Sebagaimana diketahui, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri mengatakan, pelaku tidak terkait jaringan terorisme. Berdasarkan hasil penyelidikan, tindakan tersebut murni dilakukan secara mandiri tanpa keterlibatan pihak lain, dan motif melakukan hanya karena merasa kesepian.

”Saya menilai pernyataan ini terlalu prematur," kata dia.

2. Kejanggalan kemampuan dan pembelian perlengkapan bom oleh F

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Retno menyoroti kejanggalan lain dalam kasus ini. Mulai dari pengakuan anak F yang melakukan tindak pidana ini karena kesepian dan tak punya tempat mengadu atau berkeluh kesah, yang kemudian dijadikan motif tunggal oleh kepolisian.

Selain itu, F diketahui merupakan siswa jurusan IPS, namun mampu merakit tujuh bom rakitan dengan daya ledak yang melukai puluhan orang. Kemampuan tersebut dinilai tidak lazim, mengingat guru kimia di jurusan IPA saja belum tentu bisa membuat bom, apalagi dalam jumlah sebanyak itu.

Jika pun mengikuti panduan dari internet, kecil kemungkinan F bekerja sendiri. Indikasi adanya pihak lain yang membantu pun mencuat, mengingat kualitas dan kekuatan bom yang digunakan tidak tampak seperti hasil rakitan tunggal seorang pelajar.

3. Apakah ada pihak yang memengaruhi atau memanfaatkan anak F?

Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)

Retno mengungkap sejumlah kejanggalan kasus peledakan yang melibatkan F, siswa penerima KJP yang masih berusia anak. F dinilai tidak mungkin membeli sendiri seluruh perlengkapan perakitan bom dan perangkat remot yang harganya cukup mahal.

Karena itu, Retno mendorong aparat agar menelusuri sumber dana, alur pembelian, serta pihak yang memesan bahan-bahan tersebut, termasuk jejak transaksi di toko daring yang sejatinya dapat dilacak.

Di sisi lain, unggahan media sosial F menunjukkan pose dan gaya yang meniru pelaku serangan sekolah di Eropa. Pola ini, kata Retno, dinilai penting untuk ditelusuri lebih jauh melalui riwayat pertemanan digital, percakapan, pesan langsung, hingga histori perangkat elektronik F, guna mengungkap apakah ada pihak yang memengaruhi atau memanfaatkan F.

4. Kejanggalan muncul dari waktu kejadian

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Retno mengungkapkan, teman-teman F juga mengaku pelaku sudah menggambar skenario peledakan, termasuk visual sekolah porak-poranda dan bercak darah. Dugaan keterpaparan ide atau pengaruh eksternal pun kembali mencuat.

Kejanggalan lain muncul dari waktu kejadian. Pada hari peledakan, hanya lima siswa kelas XII yang hadir usai pelaksanaan TKA, padahal F disebut ingin membalas dendam pada pembully seangkatannya. Motif tersebut kembali dipertanyakan.

Meski F harus diproses sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anak, pihak lain yang diduga terlibat dinilai perlu diungkap aparat penegak hukum.

Editorial Team