Dengan demikian, lanjut Diheim, belum bisa diketahui berapa luas lahan yang bisa disediakan untuk pemindahan dan pembangunan ibu kota ke depan. Inventarisasi dan kepastian hukum harus diprioritaskan apabila konflik lahan ingin dituntaskan.
"Kejelasan RTRWP (Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi) ini harus diterapkan di provinsi lain di luar Kalimantan Tengah juga, sehingga tidak ada hambatan ketika menentukan patok wilayah ibu kota sebelum pemindahan dan ketika dalam proses pemindahannya sendiri," kata dia.
Diheim menambahjan, pulau Kalimantan sudah banyak mengalami konflik lahan akibat efek samping dari pemberian izin eksploitasi lahan. Misalnya, eksploitasi pertambangan yang tidak sepenuhnya lolos Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) dan perkebunan sawit yang sudah beroperasi tanpa ada persetujuan yang menyeluruh dengan masyarakat.
Karena itu, kata Diheim, perlu pertimbangan matang untuk penentuan lokasi ibu kota yang mengacu pada faktor sosial, ekonomi, dan teknologi yang terbaik bagi Nusantara. Pemindahan ibu kota dari Jakarta perlu direncanakan dengan baik untuk jangka panjang, dan penempatan dirancang secara adaptif dan memitigasi segala pembuangan sumber daya alam.