Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Sebelumnya, MK telah menggelar sidang pendahuluan perkara ini pada Rabu (14/5/2025). Para Pemohon menyampaikan secara daring bahwa Pasal 7 ayat (2) Angka 9 dan Angka 15 serta Pasal 47 ayat (1) UU 3/2025 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Disebutkan bahwa keterlibatan TNI dalam ranah sipil dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual.
Sebab, keterlibatan yang berlebihan akan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya dalam menghadapi perang. Sehingga keterlibatan TNI ini, dapat melupakan raison d'etre militer itu sendiri.
Selain itu, keterlibatan yang tidak tepat dapat menimbulkan bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil. Hal ini dinilai akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi maupun maupun pembangunan profesionalisme. Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam ranah sipil harus dibatasi secara tegas dan dilaksanakan berdasarkan prinsip dan pengaturan norma yang ketat.
Lebih lanjut para Pemohon menilai ketentuan dalam pasal a quo merupakan bentuk praktik autocratic legalism yang melegalkan praktik kesewenang-wenangan penguasa. Karena pada ketentuan pasal-pasal a quo, hukum digunakan untuk melegitimasi sejumlah pelanggaran prajurit TNI pada sejumlah lembaga sipil. Pasal-pasal a quo berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI dengan membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap TNI untuk terlibat dalam urusan sipil.
Dengan adanya perluasan kewenangan TNI berdasarkan pasal a quo tidak sejalan dengan amanat reformasi yang menghapuskan dwifungsi ABRI dengan pemisahan terhadap TNI dan Polri melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/200 yang memisahkan TNI-Polri dikarenakan dapat mengembalikan dwifungsi ABRI.
Ketentuan pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan konsekuensi logis terkait perluasan kewenangan TNI, karena sistem pengambilan keputusan berdasarkan komando, yakni sistem pengambilan keputusan yang berasal dari atasan tanpa adanya kritik mengakibatkan pengambilan keputusan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi.
Lalu, konsekuensi logis lainnya dari perluasan kewenangan TNI, yakni dapat mengganggu profesionalisme tubuh TNI dalam hal fungsi pertahanan negara. Sehingga telah jelas perluasan kewenangan TNI pada ketentuan a quo melanggar prinsip demokrasi dan negara hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.