ilustrasi pandemi COVID-19 (ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat)
Lebih lanjut, Anies menjelaskan duduk perkara ketika terjadi pandemik COVID-19. Ia mengatakan, setiap pemprov dan pemerintah pusat diwajibkan melakukan pengalihan anggaran. Sebab, ketika pandemik COVID-19 terjadi, mayoritas warga diwajibkan berada di rumah untuk menekan penularan virus Sars-CoV-2.
"Pengalihan anggaran itu untuk dua aspek, yaitu aspek kesehatan dan jaminan sosial. Kenapa jaminan sosial? Karena warga diminta diam di rumah," kata Anies.
Namun, pada kenyataannya tidak semua warga yang diminta diam di rumah tersebut memiliki pendapatan bulanan. Bagi warga yang memiliki pendapatan harian otomatis kehilangan pemasukan.
Ia mengatakan, sebelum pandemik jumlah warga di DKI Jakarta yang tercatat sebagai penerima bantuan sosial mencapai 900 ribu keluarga. Namun, ketika pandemik, angka penerima bantuan sosial itu melonjak drastis.
"Angkanya meningkat sampai sekitar 2,4 juta keluarga. Jadi, Anda bayangkan dari semula angka penerimanya 900 ribu keluarga, berubah menjadi 2,4 juta keluarga, itu artinya 2 per 3 penduduk Jakarta harus diberi uang dan sembako oleh pemerintah," katanya.
Saat itu, Anies pun mengumpulkan semua ASN di Pemprov DKI, mengatakan secara blak-blakan bahwa ada dana senilai Rp1,6 triliun yang semula dialokasikan bagi 60 ribu ASN. Anies pun mempertanyakan apakah dana tersebut sebaiknya tetap diberikan kepada ASN atau dimanfaatkan untuk menghidupi 2,4 juta keluarga di seluruh Jakarta.
"Jadi, saya katakan, saya teruskan uang ini kepada Anda para ASN atau Anda hibahkan uang ini kepada warga DKI Jakarta, lalu beritahu anak, istri, suami, bahwa uang itu bukan diberikan ke pemerintah tetapi kepada tetangga Anda yang hari ini tidak memiliki pendapatan karena terdampak pandemik," ujarnya.