(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam kesempatan yang sama, salah satu korban Kudatuli, David MC mengungkap bagaimana menyeramkannya peristiwa yang terjadi pada 28 tahun lalu.
“Kita bisa dapat merasakan bagaimana mereka menyerang. Di situ (kantor DPP PDI) kita bertahan, kita bergelimpangan di sini. Lalu kemudian di luar sana chaos terjadilah bakaran di mana-mana,” ucap David.
David pun menceritakan, para aktivis sampai mahasiswa terus turun ke jalan bahkan sebelum peristiwa Kudatuli ada tragedi di Gambir.
“Kita long march, kita ke Gambir, kita diserbu aparat, lalu kita mundur ke sini lalu kemudian kita buat mimbar bebas, tepatnya di sini (DPP PDI). Yel-yel yang sangat menggema saat itu adalah Mega pasti menang. ‘Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang. Mega, Mega, Mega, yes!” cerita dia.
Hal senada juga diceritakan oleh korban lainnya yang kini juga menjabat sebagai Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning.
“Peristiwa Gambir itu kita mau ke Depdagri tapi kita dihadang di Gambir semua kita diserbu. Saya sempat diselamatkan Ketua DPC Jakarta Barat. Saya mendapatkan tugas dari ibu ketua umum, karena saya dokter untuk menjaga kesehatan siapa yang hadir di tempat di sini. Dari semua kelompok-kelompok, ada mahasiswa, PIJAR, ALDERA, FORKOT, ada PRD, juga PDI Segi Lima,” tutur Ribka.
Ribka mengungkapkan, sebenarnya sudah jauh-jauh hari mendengar kabar penyerbuan, yang kemudian jatuh pada 27 Juli 1996.
“Akhirnya jadi Sabtu kelabu. Makanya, 28 tahun ini luar biasa, pas jatuh di hari Sabtu. Sabtu jam 05.00 pagi, belum ada HP, adanya pager ‘DPP sudah diserbu’,” tutur dia.
Ribka yang mendengar kabar tersebut, langsung lari dari Ciledug dan hanya bisa sampai di YLBHI.
“Di YLBHI saya merawat orang dan menjahit. Klinik saya di sini (DPP PDI) sudah hangus. Saya suruh teman di PRD ke klinik, saya menjahit benang jahit baju tanpa bius. Termasuk Munir kelingking sebelah kiri dihantam, dia remuk,” cerita dia.
Meski tanpa bius dan menggunakan benang jahit baju, menurut Ribka tak ada infeksi.
“Karena itulah setiap tahun saya mendisiplinkan diri untuk selalu memperingati dan hadir,” tuturnya.
Pasalnya, 27 Juli 1996 adalah tonggak reformasi. Menurutnya, tanpa reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur.
“Tidak ada petani bisa jadi bupati, wali kota, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” tutur Ribka.
Ribka juga mengungkapkan, 27 Juli bukanl hanya milik PDIP, tapi juga sejarah bangsa Indonesia sehingga tak boleh ada pihak yang mengerdilkan Kudatuli. Sebab, peristiwa itu adalah simbol perlawanan terhadap rezim yang mencoba membungkam suara rakyat.
“Kalau dulu pakai penculikan. Kalau sekarang pakai perangkat hukum kalau tidak sejalan sama pemerintah, pakai perangkat hukum dicari-dicari. Harapannya korban 27 Juli supaya ini terselesaikan. Dorongan kita harus masuk kriteria pelanggaran HAM berat,” jelasnya.