Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Usep menekankan, karena Putusan MK 135/2024 sejalan dengan Asta Cita, maka pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang (UU) harusnya tidak melakukan pembangkangan.
Pemerintah dan DPR harus menjamin Revisi UU Pemilu bisa segera dilakukan, dibahas secara matang, serta menaati pemisahan pemilu.
"Khususnya di Asta Cita nomor 1 dan 7, putusan 135/2024 jika direspon oleh pembentuk undang-undang dan di dalamnya termasuk adalah pemerintah yang utama juga presiden yang punya kewenangan, akan menjamin proses legislasi RUU Pemilu menjadi bagian yang akan memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia," bebernya.
"Dan juga sejalan dengan Asta Cita nomor 7, karena akan memperkuat reformasi politik dan hukum," sambung Usep.
Dia meyakini, Putusan 135/2024 ini membuat sistem presidensialisme di Indonesia menjadi lebih baik dan tersistematis. Dengan adanya jeda pemilu nasional dan lokal, masyarakat bisa memberikan evaluasi terhadap kepemimpinan presiden.
Sebagai contoh jika presiden dan anggota legislatif dari partai politik tertentu kinerjanya buruk, maka masyarakat punya kesempatan untuk melakukan evaluasi dengan memberikan sanksi tidak akan memilih calon dari partai tersebut saat pemilu di tingkat lokal yang meliputi pilkada dan pileg DPRD.
"Kita menjadi memiliki fase evaluasi pemerintah nasional yang jaraknya 2 sampai 2,5 tahun melalui pemilu serentak daerah. Karena kita tahu sistem presidensialisme itu kan mempunyai masa pemerintahan yang pasti 5 tahun. Tapi selama ini 5 tahun kepemimpinan presiden, pemerintahan presidensial kita itu tidak punya fase evaluasi atau pemilu sela," ungkap Usep.