Perludem: Putusan MK Mengubur Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

- Putusan MK jadi momen tepat bahas segera revisi UU Pemilu-Pilkada Perludem pun mendorong agar DPR maupun pemerintah sebagai pembentuk undang-undang (UU) segera membahas mengenai Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
- Pembahasan Revisi UU Pemilu-Pilkada harus digabung Khoirunnisa pun mendorong agar pembahasan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada bisa dibahas secara bersamaan dengan metode kodifikasi.
- Ketua Komisi II DPR pastikan Putusan MK akan jadi acuan Revisi UU Pemilu Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda memastikan Putusan MK
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/PUU-XXII/2024 mengubur wacana kepala daerah dipilih melalui DPRD.
Sebab, dalam Putusan MK menginstruksikan agar pemilihan DPRD dan kepala daerah digelar secara bersamaan, sehingga baik DPRD dan pemerintah daerah punya garis waktu yang sama dalam memulai periode kerja. Berbeda dengan sebelumnya, pemilihan anggota DPRD digelar lebih dulu, kemudian beberapa bulan kemudian pilkada baru diselenggarakan.
Adapun, Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 memerintahkan agar pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah. Perludem merupakan Pemohon dalam perkara ini.
MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan pemenang pemilu nasional. Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, pemilu daerah baru bisa diselenggarakan paling lambat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.
"Dengan putusan MK kemarin sebetulnya juga wacana misalnya Pilkada lewat DPRD itu seharusnya sudah tidak ada lagi," kata dia dalam diskusi yang digelar secara daring pada Jumat (27/6/2025).
1. Putusan MK jadi momen tepat bahas segera revisi UU Pemilu-Pilkada

Perludem pun mendorong agar DPR maupun pemerintah sebagai pembentuk undang-undang (UU) segera membahas mengenai Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
"Putusan MK ini jadi momentum ya untuk segera dibahas revisi undang-undang pemilu dan pilkadanya," kata dia.
2. Pembahasan Revisi UU Pemilu-Pilkada harus digabung

Khoirunnisa pun mendorong agar pembahasan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada bisa dibahas secara bersamaan dengan metode kodifikasi.
"Jadi kan kemarin sempat ada wacana undang-undang pilkadanya mau dibahas terpisah. Dengan putusan MK kemarin, mau gak mau, ini harus jadi satu dalam metode kodifikasi, bahasnya harus segera, harus digabung," ungkapnya.
Perludem pun menegaskan, dengan adanya Putusan MK Nomor 135 ini maka wacana kepala daerah dipilih melalui DPRD seharusnya tidak lagi dibahas dalam Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
"Dengan putusan MK kemarin sebetulnya juga wacana misalnya Pilkada lewat DPRD itu seharusnya sudah tidak ada lagi," imbuh Khoirunnisa.
3. Ketua Komisi II DPR pastikan Putusan MK akan jadi acuan Revisi UU Pemilu

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda memastikan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah/lokal akan jadi acuan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang. Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi, terutama sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional kami," kata Rifqinizamy kepada IDN Times, Kamis (26/5).
Rifqinizamy menegaskan, Komisi II DPR RI juga akan menentukan formulasi yang paling ideal untuk mengakomodir dipisahnya pemilu nasional dan daerah. Salah satu yang jadi sorotan ialah transisi jabatan yang berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota legislatif daerah.
"Salah satu misalnya pertanyaan teknisnya adalah bagaimana kita bisa melaksanakan pemilu lokal setelah terlaksananya pemilu nasional tahun 2029 misalnya. Secara asumtif pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031 jeda waktu 2029 sampai 2031 untuk DPRD provinsi kabupaten kota termasuk untuk jabatan gubernur bupati walikota itu kan harus ada norma transisi. Kalau bagi pejabat gubernur bupati walikota kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan," tutur dia.
"Hal-hal inilah yang nanti akan jadi dinamika dalam perumusan rancangan undang-undang pemilu yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR RI," sambungnya.
Rifqinizamy mengatakan, dirinya sebagai pimpinan Komisi II DPR menghargai Putusan MK yang memisah antara pemilu nasional dan daerah.
"Sebagai Ketua Komisi II DPR RI, tentu kami menghargai putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan adanya pendapat hukum dari Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan Pemilu nasional dan pemilu lokal," ucap dia.
Adapun, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Pemilu.
Dalam amar putusan yang dibacakan, MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan. Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan setelah presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI dilantik.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Kamis (26/6).
"Menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional'," ucap Suhartoyo.