Jakarta, IDN Times - Pilkada 2024 yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Tapi Muhammad Rizky, sepertinya masih galau akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon pasangan gubernur dan pasangan calon bupati yang ada.
Pria 30 tahun asal warga Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten itu tak punya pilihan yang baik. Dia sadar betul kedua pasangan kandidat yang akan dipilihnya di provinsinya berafiliasi dengan politik dinasti.
Rizky menduga politik dinasti dilakukan lantaran ingin Banten tetap menganut sistem seperti kerajaan, dengan tahta turun temurun kepada keluarganya.
"Politik dinasti banyak disalahartikan sebagai suksesor atau penerus pemimpin sebelumnya, dan itu menciderai demokrasi," kata Rizky, kepada IDN Times, Selasa (26/11/2024).
Rizky menyangkan politik dinasti justru terjadi di Banten, tempat tinggalnya. Menurut dia meskipun melalui proses Pilkada, warga Banten tidak mendapat pilihan lain, selain pasangan calon yang terkait politik dinasti.
"Pendapat pribadi hal itu sangat disayangkan dan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena politik dinasti cenderung menguntungkan sebagian pihak terutama lingkaran penguasa daripada kepentingan rakyat," katanya.
Rizky beranggapan di era teknologi informasi yang bebas sekarang ini, Banten seharusnya memiliki calon pemimpin yang bukan hanya mengandalkan politik dinasti, melainkan sosok yang benar-benar layak dan kompeten memimpin Banten.
"Harus fokus pada kelayakan calon yang akan memimpin Banten, harus jelas visi misinya dan harus bekerja untuk kepentingan rakyat karena Banten Salah satu provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi di Indonesia," katanya.
Berbeda dengan Rizky, Prayudha, warga Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, mengaku tidak masalah memiliki calon gubernur atau pun bupati yang berasal dari politik dinasti, asal memiliki integritas dan berkualitas memimpin daerahnya.
"Setiap orang kan sebenarnya boleh saja mencalonkan diri menjadi gubernur Banten atau Bupati Tangerang, tapi harus yang berintegritas dan ingin memberikan solusi untuk permasalahan di Banten," kata pria 28 tahun itu.
Namun, Prayudha tidak akan memilih paslon yang memiliki keterikatan dengan politik dinasti, apalagi yang memiliki rekam jejak buruk. Sebab, dia beranggapan politik dinasti tetap tidak baik untuk proses demokrasi di Banten ke depannya.
"Karena nanti yang maju untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di Banten, hanya yang memiliki latar belakang politik dinasti agar supaya menang," kata pria yang akrab disapa Yudha.
Dia ingin sosok pemimpin Banten dan Kabupaten Tangerang benar-benar bisa mengentaskan masalah-masalah yang telah berakar di Banten. Apalagi, pemimpin di Tanah Jawara ini mayoritas terjerat kasus korupsi.
"Saya ingin agar pemimpin ke depan dapat menganggap serius pendidikan bagi warga Banten ya, dari fasilitas dan kualitas yang mumpuni," ungkap Prayudha.
Sementara, Ahmad Romli, warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, mengaku mengetahui adanya politik dinasti, namun tidak begitu mempermasalahkan. Sebab, politik dinasti tidak berpengaruh lantaran masyarakat tetap memilih langsung kandidat yang ditawarkan.
"Kalau menurut saya sih gak masalah ya, kan tergantung pilihan rakyat, kalau rakyat milih yang dinasti, ya mau gimana?" kata ujar pria 40 tahun itu.
Namun, menurut Romli, paslon yang memiliki kaitan dengan politik dinasti tetap harus memiliki kemampuan memimpin yang baik, serta memiliki program yang pro rakyat, bukan hanya mengandalkan dinasti.
"Kalau programnya bagus, tidak masalah dinasti atau tidak, yang penting bisa bikin lapangan kerja banyak, pendidikan gratis, jalan-jalan diperbaiki, sembako murah," ungkapnya.
Kendati, Romli tetap berharap, siapapun yang memimpin Banten dan Kota Tangerang Selatan bisa benar-benar menepati janji politiknya terhadap rakyat yang memilih, bukan kepada partai atau pun pengusaha.
"Jangan sampai, begitu duduk di kursi Gubernur atau Wali Kota, jadi hilang ingatan, karena yang harusnya pertama diberi ucapan dan perlakuan terimakasih adalah rakyat yang memilih, bukan partai atau pengusaha," katanya.
Banten memang menjadi salah satu wilayah dengan praktik politik dinasti yang cukup kuat, sejak pertama kali berpisah dari wilayah Jawa Barat pada 4 Oktober 2000. Banten pertama kali dipimpin penjabat yang ditunjuk pemerintah pusat kala itu, yakni Sekretaris Daerah Jawa Barat, Hakamuddin Djamal, sebelum akhirnya diadakan pemilihan umum kepala daerah dan digantikan Djoko Munandar dan wakilnya Ratu Atut Choisiyah pada 11 Januari 2002.
Sayangnya, belum genap lima tahun menjabat, Djoko Susilo terjerat kasus korupsi hingga dinonaktifkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Kursi Banten 1 lantas diisi wakilnya, Ratu Atut Choisiyah. Djoko divonis bersalah di tingkat pertama dan banding terkait kasus penyalahgunaan dana Rp14 miliar untuk memperkaya anggota DPRD Banten. Djoko divonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta. Djoko meninggal dunia pada 4 Desember 2008 pada usia 60 tahun, sementara putusan kasasi keluar pada 2009.
Pada 2011, Ratu Atut Chosiyah bersama Rano Karno mencalonkan diri sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Banten dan menang. Mereka dilantik pada 30 Oktober 2011. Sayangnya, pada 2014, Atut terjerat kasus korupsi dan didakwa bersalah. Rano Karno lantas menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur kala itu, hingga 2016 dan digantikan Nata Irawan sebagai Plt Gubernur menunggu proses Pilgub Banten 2017.
Lalu, pada 2017, Rano Karno menggandeng Embay Mulya Syarif mencoba mencalonkan diri melawan Wahidin Halim-Andika Hazrumy. Diketahui, Andika merupakan anak Ratu Atut Chosiyah, yang lantas berhasil memegang kekuasaan Banten.
Tak hanya di tingkat gubernur, politik dinasti juga terjadi di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, seperti Pandeglang, Lebak, hingga Tangerang Selatan. Bahkan, terdapat tiga klan kuat di Banten, yakni Klan Jayabaya yang menguasai Lebak, Klan Ratu Atut yang menguasai Tangsel, dan Klan Natakusumah yang menguasai Pandeglang.