Survei: Masyarakat Wajarkan Politik Dinasti Ketimbang Politik Uang

Jakarta, IDN Times - Populix merilis survei bertajuk Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024: Politik Dinasti dan Politik Uang. Dalam laporan tersebut, mereka menemukan sebagian besar pemilih cenderung mewajarkan praktik politik dinasti ketimbang politik uang.
Mayoritas mengaku akan menolak dan cenderung siap melaporkan praktik politik uang. Kesimpulan ini didapatkan melalui survei kepada 962 responden yang didominasi Gen-Z dan Milenial.
1. Hampir dua pertiga responden wajarkan politik dinasti

Populix menemukan bahwa 65 persen responden cenderung mewajarkan politik dinasti. Bahkan lebih dari 21 persen responden menyatakan bisa menerima politik dinasti. Sedangkan yang benar-benar menolak hanya sekitar 10 persen dari total responden.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat Tamara menjelaskan, politik dinasti merujuk pada kekuasaan di bidang politik yang dikuasai oleh sekelompok orang yang masih terikat hubungan keluarga.
Meskipun tidak serta merta melanggar demokrasi, pola politik ini cenderung bertentangan dan mengancam konsep desentralisasi kekuasaan yang menjadi landasan sistem demokrasi. Pasalnya dalam sebuah dinasti, keputusan publik cenderung diabaikan.
2. Alasan mewajarkan dinasti politik

Nazmi menjelaskan, sebanyak 74 persen responden yang mewajarkan politik dinasti beralasan karena mereka tidak masalah selama kandidat memiliki kompetensi yang baik.
"Temuan ini senada dengan hasil penelitian kami sebelumya tentang kriteria calon pemimpin daerah. Di mana publik kini cenderung lebih berfokus pada sosok calon pemimpin daerah, dengan rekam jejak dan visi-misi sebagai kriteria utama," tutur dia dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).
Selain kompetensi kandidat, proses pemilihan umum secara langsung menjadi alasan 54 persen responden menerima politik dinasti. Hal ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilihan umum di Indonesia.
“Kemudian lebih dari sepertiga responden percaya, keberlanjutan dinasti akan menjamin keberlanjutan kebijakan dari periode sebelumnya. Alasan ini mungkin mewakili keresahan publik terhadap perubahan kebijakan yang terjadi setiap pergantian kepemimpinan,” tutur Nazmi.
3. Politik uang sasar calon pemilih tanpa pandang bulu

Lebih lanjut, Nazmi menjelaskan, politik uang disodorkan kepada seluruh kalangan pemilih. Temuan Populix membantah adanya anggapan politik uang hanya ditawarkan ke masyarakat kelas menengah ke bawah.
Politik uang sendiri merujuk kepada praktik pemberian atau janji menyuap agar mereka tidak memilih atau memilih sesuai arahan dari si pemberi suap. Aksi ini biasa dilakukan menjelang hari pemilihan, atau bahkan di pagi hari sebelum pemilihan yang biasa disebut serangan fajar.
"Survei Populix menyebut 50 persen responden mengaku pernah ditawari uang atau hadiah saat akan mencoblos. Berbeda dari asumsi bahwa politik uang cenderung terjadi di kalangan menengah ke bawah, 47 persen responden dari kalangan atas mengaku pernah ditawari suap," ucapnya.
Menurut hasil penelusuran Populix, tim sukses kampanye menjadi agen politik uang yang paling sering ditemukan di lapangan, disusul dengan pengurus partai politik. Tak hanya 'orang partai', teman atau tetangga sekitar juga ketua RT maupun RW juga ditunjuk sebagai perantara suap demi memuluskan kemenangan para bakal calon pemimpin daerah.
Meskipun gencar dilakukan, hanya 35 persen responden yang mewajarkan praktik politik uang. Selebihnya dengan tegas menolak praktik suap ini. Bahkan 77 persen dari orang yang menolak politik uang cenderung akan melaporkan pelanggaran ini kepada panitia pemilihan umum maupun pihak berwajib lainnya.
Untuk diketahui, pengumpulan data survei ini dilakukan pada 23 sampai 26 Mei 2024, dengan melibatkan 962 responden secara online dari seluruh wilayah Indonesia. Kriteria responden terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan beragam latar belakang pendidikan, mulai dari SMP hingga S2. Selain itu para responden juga mewakili tiga status sosial-ekonomi, mulai dari tingkat bawah (18 persen), menengah (43 persen), juga atas (38 persen).