Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kotak suara di Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • KPU akan mengikuti aturan terkait wacana mengubah format pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung atau lewat DPRD.
  • Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, menyampaikan usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD.
  • Pakar hukum tata negara menolak ide tersebut karena tidak akan mengatasi politik berbiaya tinggi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal mengikuti aturan terkait adanya wacana untuk mengubah format pemilihan kepala daerah, dari langsung menjadi tidak langsung atau dialihkan lewat DPRD. Namun, hal itu tetap harus ada perubahan aturan lebih dulu. 

"Makanya ini lah pentingnya evaluasi, diskursus usai pilkada. Langkah apapun yang dipilih, dimulai dari aturan atau undang-undang yang menurut prolegnas untuk dibahas. Salah satunya akan mengatur bagaimana penyelenggaraan pilkada atau pemilu serentak di negara kita," ujar Ketua KPU Mochammad Affifuddin seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (14/12/2024). 

Lebih lanjut, Affifuddin mengingatkan bahwa Indonesia sebelumnya sudah pernah menjalankan proses pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Dikutip dari sejumlah sumber, rakyat bisa langsung memilih kepala daerahnya mulai 2004 lalu. Ketika itu Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meminta agar format pilkada diubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. 

Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dipilih lewat DPRD sudah berlangsung sejak 1974. Namun, Presiden Soeharto ketika itu mengangkat dan bisa memberhentikan kepala daerah yang memimpin provinsi atau gubernur.

1. Pakar hukum tata negara sudah lama tolak format DPRD yang memilih kepala daerah

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti ketika berbicara di program Real Talk. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Usulan agar format pemilihan kepala daerah tidak lagi secara langsung dan dikembalikan lewat DPRD sudah sering muncul. Puncaknya ketika aspirasi itu disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto di puncak HUT ke-60 Partai Golkar pada 12 Desember 2024 lalu di Sentul International Convention Centre (SICC). Sebelumnya, usulan serupa pernah digaungkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid. 

Namun, pakar hukum tata negara menolak ide tersebut. Salah satunya oleh akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Menurut Bivitri, usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD tidak akan mengatasi substansi isu pilkada yakni politik berbiaya tinggi atau politik uang. 

"Ini gimana analisisnya? Kalau mau menganalisa hukum dan kebijakan, maka kita harus lihat akar masalahnya apa. Kebijakan itu selalu menyasar akar masalah, bukan menyasar gejala. Gejala orang yang berkurang partisipasinya di TPS (Tempat Pemungutan Suara), bukan berarti semua digebyah uyah," ujar Bivitri ketika dihubungi pada 7 Desember 2024 lalu. 

"Jadi, ibaratnya kalau ada tikus di lumbung, tikusnya ya kita cari bukan lumbungnya kita bakar," imbuhnya. Pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, kata Bivitri, tidak akan menghapus praktik politik uang hingga penyalahgunaan kekuasaan.

"Semua praktik itu malah akan pindah ke DPRD. Cuma akan lebih elite. Hal ini menurut saya lebih mengerikan," katanya. 

Sedangkan dalam praktik pilkada langsung, calon kepala daerah masih bisa mengerem agar tidak terlalu mencolok melakukan praktik politik uang. 

2. MK sudah tutup wacana agar kepala daerah dipilih lagi lewat DPRD

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara, pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menutup ruang bagi pembentuk undang-undang untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD. Menurutnya, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD seharusnya tak perlu dilanjutkan.

Titi menjelaskan, MK sudah mengeluarkan putusan nomor 55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK menawarkan sejumlah model keserentakkan pemilu yang juga menyertakan pilkada di dalamnya.

Praktik keserentakkan yang akhirnya dipilih oleh pembentuk undang-undang adalah yang terealisasi pada 2024, yakni penyelenggaraan dua agenda kepemiluan pada satu tahun yang sama.

"Dan itu diperkokoh lagi oleh MK lewat putusan nomor 85/PUU-XX/2022. MK menyatakan pilkada adalah pemilu yang harus dijalankan sesuai asas pemilu luber jurdil," ujar Titi ketika dihubungi pada Sabtu (14/12/2024). 

Putusan MK nomor 85/2022 juga menegaskan bahwa pilkada harus diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang juga menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.

"Makanya kita sudahi perdebatan untuk sesuatu yang isu konstitusionalitasnya sudah terang benderang seperti matahari di siang bolong," katanya. 

3. Mahalnya biaya pemilu tidak tercermin dari laporan biaya kampanye ke KPU

Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti ,mempertanyakan klaim para politisi bahwa pemilu di Indonesia berbiaya mahal. Sebab, hal itu tidak tercermin di dalam laporan penggunaan dana kampanye. 

"Semua orang mengatakan pilkada ini mahal, pileg mahal, pilpres mahal, tapi laporan dana kampanyenya paling Rp2 miliar-Rp3 miliar. Di mana mahalnya? Kan itu bisa dicek laporan penggunaan dana kampanye yang ada di situs KPU," ujar Ray ketika dihubungi pada Jumat kemarin. 

Ia menduga kuat tidak ada satu paslon pun yang jujur dalam melaporkan penggunaan dana kampanye. "Tapi, teriaknya selalu biaya penyelenggaraan pemilu mahal. Mahalnya di mana? Wong, Anda hanya melaporkan dana kampanye Rp2 miliar. Dari mana saya tahu? Dari laporan Anda ke KPU soal penggunaan dana kampanye," katanya. 

Ia justru curiga biaya yang akan dihabiskan untuk memilih kepala daerah melalui DPRD justru lebih mahal. Sebab, permainan politik uang juga bisa tetap terjadi di sana. 

Ray juga mempertanyakan apakah anggota DPRD yang selama ini terpilih betul-betul mewakili aspirasi publik. DPR pun juga sulit dipercaya bisa memilih presiden yang didambakan oleh masyarakat. 

"Satu-satunya kegembiraan bagi publik di dunia politik sekarang, karena kita bisa memilih presiden secara langsung. Kalau kita salah pilih, ya kita ambil risikonya. Ketimbang DPR yang pilih, mereka yang salah, tapi kita yang tanggung risikonya," tutur dia. 

Editorial Team