Urumqi, IDN Times - Ruangan salat di Masjid Institut Islam itu mendadak hening. Wajah Abdurikif Tumunyaz nampak serius menanggapi pertanyaan saya.
"Serangkaian aksi teror berdarah yang dipamerkan di Xinjiang Expo, menunjukkan ada yang salah dengan kerja Asosiasi Islam di sini dan pengajaran di Institut Islam. Apa yang terjadi?"
Empat jurnalis dari media asal Tiongkok yang juga hadir di ruang itu ikut menyimak.
Kami semua, selusinan jurnalis dari Indonesia dan Malaysia yang diundang Pusat Publikasi Internasional Tiongkok (CIPG) duduk bersila di depan Abdurikif, Presiden Institut Islam Xinjiang.
Nampaknya tidak biasa bagi "petinggi" di Tiongkok menerima pertanyaan gaya menggugat seperti yang biasa dilakukan jurnalis di negara demokrasi. Tapi, kunjungan ini sudah diantisipasi. Apalagi Pemerintah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) belakangan sibuk menerima delegasi dari berbagai negara termasuk dari Eropa dan negara dengan populasi muslim.
Pekan ini delegasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam juga berkunjung ke kawasan yang dihuni 13 etnis termasuk Uighur yang beragama Islam itu.
Sosok Abdurikif tinggi besar. Berjanggut. "Karena saya bos, ya boleh berjanggut," jawabnya, bercanda, ketika soal ini saya tanyakan.
Tersiar kabar, mereka yang berjanggut "dicurigai".
Wajah agak serius, gampang bikin keder, suara keras. Tapi humoris.
Abdurikif lahir di sebuah desa di Turpan, tahun 1962. Turpan antara lain dikenal dengan sistem irigasi Karez yang usianya lebih dari 1.000 tahun dan dibangun Haji Karez.
Saya berkunjung ke sana tahun 2016.
Antara tahun 1989-1990, Abdurikif, ayah tiga putri, belajar tentang Islam di Turpan, Khasgar, dan Urumqi. "Saya belajar 10 pelajaran utama tentang Islam sehingga saya qualified sebagai mullah atau yang boleh menjawab pertanyaan tentang Islam," tutur Abdurikif, yang berasal dari etnis Uighur.
Dari 1991-2001 dia menjadi mullah dan Imam di daerah asal di Turpan. Tugas Imam memimpin masjid dan salat 5 waktu, khatib di sini bertugas interpretasi ajaran Islam klasik.
tahun 1997 Abdurikif belajar di Islamic Intitute Tiongkok di Beijing. Kemudian, tahun 1999, pemerintah Tiongkok mengirim dia belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.
Sejak 2001, wakil presiden dan kemudian Presiden Xinjiang Islamic Institute. Dia juga presiden asosiasi Islam Tiongkok di Xinjiang dan pernah jadi.presiden asosiasi Islam Tiongkok.
Abdurikif mengaku sudah 6 kali pergi berhaji.
Kami bertemu dia sesudah menyaksikan pameran anti-teror yang digelar di gedung Expo Xinjiang. Di sana dipamerkan sejumlah dokumentasi aksi teror berdarah di Xinjiang.
Pemerintah mengklaim ada 2000-an aktivitas ekstrimisme, separatisme, dan terorisme yang terjadi di sana.
Bagaimana kondisi di Xinjiang di mata petinggi di sana, dan mengapa mereka "kecolongan" dengan beragam aksi teror?