Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-29 at 19.48.12.jpeg
Fotografer jalanan yang potret orang saat berolahraga di CFD. (X/Ismail Fahmi)

Intinya sih...

  • Dari perbincangan, muncul sejumlah ide untuk menyusun code of conduct terkait hal ini, seperti tempat khusus dan penggunaan nametag atau tanda identitas.

  • Perlunya koordinasi lintas pihak agar tidak menimbulkan salah tafsir di lapangan, dengan pembahasan antara aplikasi, fotografer hingga masyarakat yang menggunakan jasa ini.

  • Pemerintah punya peran untuk memoderatori regulasi, contohnya penerapan yang bisa dimulai dari kota besar seperti Jakarta dengan aturan pada car free day dan tanggung jawab serta profesionalisme para fotografer.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Fenomena fotografer yang mengerubungi masyarakat saat berolahraga lari di berbagai kota kini menjadi perbincangan hangat. Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi membuka ruang diskusi akan hal ini di media sosial.

Menurutnya isu ini harus diatur sedemikian rupa dan perlu ada pembahasan lebih dalam sehingga ekonomi digital yang kini dijalani para fotografer itu bisa diiringi rasa nyaman. Antara lain dengan code of conduct yang mengatur etika, perilaku, dan standar profesional.

“Jadinya kan fotografer-fotografer ini mungkin karena dimudahkan oleh AI, mereka mencari objek foto bisa di mana pun yang memberikan dampak ketidaknyamanan. Perspektif saya, tujuan saya, ini harus diatur, dibahas. Dari bagaimana fotografer, mereka butuh ekonomi jalan, bagaimana mereka yang pengen lari. Banyak sekarang orang Indonesia malas lari gara-gara gak nyaman. Mungkin gak semua orang tahu code of conduct,” ujar dia kepada IDN Times, Rabu (29/10/2025).

1. Beberapa ide code of conduct fotografer pelari

Fotografer jalanan yang potret orang saat berolahraga di CFD. (X/Ismail Fahmi)

Dari perbincangan, ruang diskusi yang tercipta muncul sejumlah ide untuk menyusun code of conduct terkait hal ini.

"Nah Code of conduct itu kan aturan. Itu ada beberapa ide keluar dari publik. Makanya ini kan bener, kita mau konstruktif kan, konstruktif journalism lah," kata Ismail.

Dari publik itu misalnya ada tempat-tempat yang khusus. Kemudian yang kedua, mungkin si fotografer mengenakan nametag atau tanda.

"Gak semuanya bisa, jadi kan teridentifikasi misalnya. Terus ada yang kalau pakai topi yang ada topi atau kaos ada tulisan atau gambar kamera coret, itu gak mau gitu,” ujarnya.

2. Perlu ada juga pembahasan dari aplikator, fotografer hingga masyarakat

Fun Walk dalam rangka HUT IBI ke-74 dan Hari Bidan Internasional (International Day of the Midwife/IDM) Tahun 2025 pada Minggu (8/6/2025) di CFD Jakarta. (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Menurutnya, situasi ini menunjukkan perlunya koordinasi lintas pihak agar tidak menimbulkan salah tafsir di lapangan. Maka perlu ada juga pembahasan antara aplikasi, fotografer hingga masyarakat yang menggunakan jasa ini.

“Artinya harus dibangunin itu. Ada obrolan antara pihak aplikasi, pihak yang membantu Fotoyu kan, pihak fotografer, kemudian pelari yang memanfaatkan itu. Dan pelari juga, mereka masyarakat umum. Siapa yang memfasilitasi? Makanya kupikir ini perlu ada yang fasilitasi,” ujarnya.

3. Penerapan bisa dimulai dari kota besar seperti Jakarta

Fotografer jalanan yang potret orang saat berolahraga di CFD. (X/Ismail Fahmi)

Menurut Ismail, pemerintahlah yang punya peran untuk memoderatori regulasi. Dia mencontohkan penerapan yang bisa dimulai dari kota besar seperti Jakarta.

“Jakarta kan ada car free day titik-titik. Untuk fotografer mulai diatur nih misalnya. Oke, ini titik ini ada fotografer, ada tandanya tuh. Setiap CFD muncul ada apa lah, fotografer. Terus fotografernya yang memang fotografer mau kalvidi, itu dia punya data, dia punya nametag,” katanya.

Langkah ini, menurutnya, penting untuk membangun tanggung jawab dan profesionalisme. Hal ini juga membuat para fotografer tahu apa yang boleh dan tidak boleh.

"Dan mereka tahu konsekuensinya kalau misalnya dia ngambil gambar-gambar fetish dan lain-lain, itu kan nggak boleh. Jadi kan dia dapat konsekuensinya,”

4. Perlunya peran negara dalam menata ekosistem ini

Fun Walk dalam rangka HUT IBI ke-74 dan Hari Bidan Internasional (International Day of the Midwife/IDM) Tahun 2025 pada Minggu (8/6/2025) di CFD Jakarta. (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Dia menekankan, sistem pendataan dan penandaan ini juga berfungsi sebagai sarana edukasi. Hal ini juga untuk menghindari jangan sampai ada orang dari kota lain sengaja bolak-balik jadi fotografer.

"Ternyata dia mencoba untuk ngumpulin foto-foto yang nanti dimanfaatkan untuk keperluan apa, kan bisa saja,” katanya.

Karena itu, dia menilai perlunya peran negara dalam menata ekosistem digital ini.

“Nah, yang ngatur ini siapa? Nggak bisa masyarakat, harus pemerintah," ujar Ismail.

5. Komdigi akan panggil asosiasi buntut maraknya fotografer jalanan

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar berbicara dalam kegiatan MediaConnect: Dari Clickbait Jadi Kredibel di Menara Bosowa, Makassar, Kamis (23/10/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Fenomena fotografi jalanan saat masyarakat berolahraga di sejumlah tempat memantik diskusi. Banyak yang setuju, tapi tak sedikit pula merasa kurang nyaman karena merasa area privasinya diganggu.

Menanggapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bakal mengundang perwakilan fotografer dan asosiasi profesi seperti Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) serta Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) terkait untuk memperkuat pemahaman tentang kewajiban hukum dan etika fotografi di ruang digital.

"Kami ingin memastikan para pelaku kreatif memahami batasan hukum dan etika dalam memotret, mengolah, serta menyebarluaskan karya digital. Ini bagian dari tanggung jawab bersama untuk menjaga ruang digital tetap aman dan beradab," kata Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar, Rabu (29/10/2025).

Editorial Team