Fotografer Jalanan: Antara Inovasi, Etika Publik, dan Ekonomi

- Fenomena fotografer jalanan yang menggunakan aplikasi AI untuk menjual foto-foto menimbulkan diskusi tentang lapangan kerja baru.
- Perhatian terhadap etika, empati, dan edukasi publik menjadi fokus dalam diskusi ini.
Jakarta, IDN Times - Fenomena fotografer yang mengerubungi masyarakat saat berolahraga lari di berbagai kota kini menjadi perbincangan hangat. Teknologi kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) punya peran dalam tren ini, terutama dengan hadirnya aplikasi seperti Fotoyu, yang memungkinkan foto-foto hasil jepretan fotografer dijual secara instan kepada publik.
Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, membagikan pemikirannya saat memperhatikan transisi penggunaan teknologi yang beririsan dengan privasi dan etika ini. Menurut dia, suasana di lapangan kini berubah. Pengalaman yang dia bagikan di X tentang fenomena itu membuka ruang diskusi.
“Jadi tuh ngumpul, seperti di fotoku itu kan. Saya gak pernah lihat itu di Jakarta, kecuali event ya. Itu rame-rame, orang pada lari biasa aja. Itu langsung ngerubutin banyak sekali. Pokoknya di pinggir itu kan si fotografernya dan itu gak cuma satu, ada beberapa yang kalau aku lihat, ini kok agak berlebihan ya," kata doktor linguistik komputasi dari Universitas Groningen, Belanda ini kepada IDN Times, Rabu (29/10/2025).
1. Sebut AI ciptakan lapangan kerja

Unggahannya di X itu diberi tajuk, 'AI Menciptakan Lapang Kerja.' Meski begitu, dia menekankan, tidak serta-merta fenomena ini bisa disebut sebagai bentuk lapangan kerja baru yang sehat.
“Yang jelas, aku sendiri gak akan bilang bahwa sebuah lapang kerjanya seperti ini. Ini kan terbantukan dan itu sudah lama kan, hanya terbantukan saja. Tapi memang ada unsur AI-nya. Kenapa? Jadinya mudah kan orang-orang itu. Karena ada Fotoyu, ada AI-nya, jadi mereka tinggal cepat-cepat upload, langsung dimudahkan untuk menjual fotonya ke orang yang mau beli. Artinya ada bantuan AI lah,” kata dia.
Dia mengakui adanya irisan tentang etika, persetujuan orang untuk dipotret atau tidak, hingga potret yang dikomersialkan.
"Mungkin nanti ada beberapa orang gak berkenan. Cuma ternyata di lapangan yang aku lihat, ini kenapa jadi banyak fotografer? Apakah orang-orang merasa nyaman? Aku sendiri merasa gak nyaman. Aku merasa aneh," kata dia.
2. Singgung empati hingga edukasi publik

Menurut dia, pesan utama dari diskusi yang dia pantik sederhana, yaitu empati dan kesadaran.
“Kalau Anda lari dengan kondisi seperti ini, apa yang Anda rasain? Sepertinya pesan aku seperti itu. Cuma gak tertulis. Tertulisnya kena AI, biarin orang ngerasa. Jadi tujuan u adalah ingin ini diangkat jadi pembahasan,” kata dia.
Selain persoalan etika dan kenyamanan, Ismail juga menyinggung soal edukasi publik tentang AI. Dengan demikian, dia pun menunjukkan cara kerja AI dalam fenomena yang tengah ramai tersebut.
“Gak semua orang tahu gimana AI, cara kerja AI. Nah, kita lihat. Ini lho yang dari Fotoyu. Aku habis jalan kan, fotoku juga kelihatan di situ. Di Fotoyu kan kelihatannya aku ambil dari berbagai macam posisi. Kita lihatin tuh, lihatin dua angle-nya. Ada face recognition-nya jalan. Yes, no, yes, no, kayak gitu. Oke, ternyata cara kerja seperti itu. Karena sangat akurat, aku mau lihatin ke orang, itulah AI, sangat akurat sekarang deteksi," kata dia.
3. Tak hanya terjadi di kota besar

Ismail lantas menyinggung soal ekonomi digital yang saat ini dapat dengan mudah menjual foto seseorang, mengedukasi publik hingga berdiskusi.
Atas fenomena para pelari yang dipotret fotografer itu, kata dia, banyak orang yang tak setuju dengan konsep tersebut, meski ada juga yang tidak mempermasalahkannya. Dari diskusi yang dilakukan, Ismail pun menangkap fenomena tersebut tidak hanya terjadi di kota besar.
“Nah ternyata yang kupikir itu hanya di kota-kota besar, misalnya Jakarta, Palembang, mungkin Bandung. Ternyata hampir kalau dilihat di komen-komen itu, Indonesia itu banyak. Di Bali, di kabupaten apa, bahkan ada yang di komplek, ada orang naik sepeda motor, motret gitu, dicek di Fotoyu. Jadi ada," kata dia.
4. Menantang irisan rasa aman dan privasi di ruang publik

Menurut dia, fenomena ini menyoroti dilema kemudahan ekonomi digital dan batas etika ruang publik. Teknologi memudahkan, tetapi juga menantang rasa aman dan privasi di ruang publik.
Dia mengatakan, isu ini harus diatur sedemikian rupa dan perlu ada pembahasan lebih dalam sehingga ekonomi digital yang kini dijalani para fotografer itu bisa diiringi rasa nyaman. Antara lain dengan code of conduct yang mengatur etika, perilaku, dan standar profesional.
“Jadinya kan fotografer-fotografer ini mungkin karena dimudahkan oleh AI, mereka mencari objek foto bisa di mana pun yang memberikan dampak ketidaknyamanan. Perspektif saya, tujuan saya, ini harus diatur, dibahas. Dari bagaimana fotografer, mereka butuh ekonomi jalan, bagaimana mereka yang pengen lari. Banyak sekarang orang Indonesia malas lari gara-gara gak nyaman. Mungkin gak semua orang tau code of conduct,” ujar dia.

















