Ilustrasi partai politik. Foto: Ist.
Terkait hal ini, pengamat politik dari Citra Institute Efriza menilai, rencana dihapusnya pengundian nomor urut di Pemilu 2024, bagi parpol peserta Pemilu 2019, mustahil dijalankan. Menurut dia, sistem tersebut rawan terjadinya ketidakadilan bagi parpol baru yang ikut Pemilu 2024 nanti.
"Tentu ini jelas mekanisme tidak adil dan tidak mungkin bisa dijalankan," kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (30/11/2022).
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo ini menjelaskan, kebijakan itu hanya menguntungkan sejumlah partai politik. Jika rencana ini dilakukan, kata dia, nantinya akan menimbulkan berbagai masalah besar.
"Ini tidak sesuai dan tidak akan sesuai seperti Pemilu 2019 lalu. Perlu dipahami lagi, jelas ada suatu hal permasalahan yang sangat besar dan hanya menguntungkan satu partai saja," ucap dia.
Efriza lantas mempertanyakan rencana tersebut, karena hingga saat ini masih belum jelas tentang yang dimaksud sebagai parpol peserta Pemilu 2019.
Contohnya nomor urut tujuh peserta Pemilu 2019 yang dimiliki Partai Berkarya. Pada Pemilu 2024 nanti, Partai Berkarya dinyatakan tidak lolos menjadi peserta pemilu.
Kemudian yang menjadi sorotan tentang kosongnya nomor urut tujuh parpol pada peserta Pemilu 2024 mendatang.
"Ini bentuk ketidakadilan, karena yang dimaksud peserta Pemilu 2019 itu yang mana. Apakah Partai Berkarya yang nomor tujuh dan dinyatakan gagal pada Pemilu 2024 otomatis dia naik jadi peserta pemilu? Karena kan itu nomor urut dia," kata Efriza.
Efriza juga mengkritisi aturan dihapusnya sistem pengundian bagi parpol peserta Pemilu 2019, karena sulit mengakomodir parpol yang baru mengikuti Pemilu 2024.
"Jangan lupakan ada 9 parpol nonparlemen yang belum dinyatakan lolos, bagaimana caranya memfasilitasi partai ini. Apakah mereka mengisi slot yang kosong atau mereka ditaruh lagi di tempat yang lain," ujar dia.
Jika melihat nomor urut peserta Pemilu 2019 lalu, nomor urut partai terbilang acak. Saat itu, partai nasional mendapat nomor urut 1 sampai 14. Kemudian PBB yang dinyatakan lolos belakangan mendapat nomor urut 19. Sementara nomor urut 15 sampai 18 diisi oleh partai lokal Aceh.
Efriza menilai, nomor urut yang acak itu tentu akan sulit mengakomodir peserta Pemilu 2024 mendatang, khususnya bagi parpol baru dan partai lokal.
"Sementara kan sisi lain angkanya jelas-jelas akan berbeda. Dari 1 sampai 14 kan berurut, tapi 19 kan tidak karena PBB itu masuknya belakangan setelah dia dinyatakan tidak lolos verifikasi, dia baru dapat nomor belakangan. Dihitung 15 sampai 18 kan parpol lokal Aceh," tutur dia.
"Terus bagaimana PBB nanti di Pemilu 2024? Posisi parpol lokal bagaimana, ini kan harus diperjelas lagi," sambung Efriza.
Efriza lantas mengatakan, dihapusnya pengundian nomor urut bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang kembali ikut dalam Pemilu 2024 menguntungkan PDIP.
Alasannya, PDIP sangat identik dengan nomor urut tiga. Ketika masih bernama PDI, selama rezim Orde Baru, partai berlambang kepala banteng itu selalu mendapat nomor urut tetap tiga. Hasil dalam perolehan suara juga selalu berada pada peringkat ketiga dari tiga partai peserta Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997.
Sejak Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997, tiga partai peserta pemilu yakni PPP (hasil fusi dari Partai NU, Masyumi, Perti, dan Sarikat Islam pada 5 Januari 1973) dengan nomor urut 1 sebagai peserta pemilu, Golkar nomor urut 2, PDI (hasil fusi PNI, Partai Katolik, Partai Murba, Parkindo, dan IPKI pada 10 Januari 1973) nomor 3.
"Sangat jelas yang diuntungkan hanya PDIP, karena kalau dilihat dari masa lampaunya di era setelah 1973 lahirnya PDI. PDI selalu nomor urut tiga, nomor urut duanya Golkar. Ini menguntungkan mereka semata, orang sudah mengingat branding PDI, pencitraan PDI nomor urut tiga, makanya dia kemarin (Pemilu 2019) sangat diuntungkan selain faktor (mengusung kembali) Pak Jokowi," tandas dia.