Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila mengatakan, tahun 2017 Komnas Perempuan berkolaborasi dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM melakukan penelitian lapangan di daerah tertinggi praktik sunat perempuan berdasarkan data riskesdas 2013, yaitu Riau, Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Data Riskesdas 2013 yang diluncurkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, ada 20 provinsi yang memiliki persentase sunat perempuan di atas rata-rata nasional.
Tertinggi adalah Gorontalo dengan persentase sunat perempuan mencapai 83,7 persen, disusul Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, dan Riau. Secara nasional, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun sebesar 51,2 persen.
Jika dilihat dari karakter wilayah, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 55,8 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yakni 46,9 persen.
“Berdasarkan penelitian di wilayah-wilayah tersebut, mayoritas percaya bahwa pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) menjadi bagian tradisi yang harus dipelihara turun-temurun. Kepercayaan agama masih menjadi alasan utama, misalnya untuk proses mensucikan hingga mengurangi nafsu seksual perempuan. Padahal, P2GP tak bermanfaat secara medis dan berbahaya. Sebab itu, praktik P2GP harus segera dihapuskan,” kata Nina kepada IDN Times, Selasa (6/2).
“Pada laki-laki dilakukan pemotongan daging yang menutupi lubang kencing, jika tidak dihilangkan akan sulit bagi seorang laki-laki untuk mensucikan diri. Namun, masyarakat menganalogikan, kalau sunat laki-laki penting maka penting juga untuk perempuan. Itu analogi yang salah, karena dari bentuknya saja kelamin laki-laki dan perempuan berbeda,” imbuhnya.