Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sunat Perempuan, Ritual Diskriminatif yang Terus Melebar

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Oleh Ursula Florene, Ajeng Quamila dan Yetta Tondang

JAKARTA, Indonesia — Sejak awal, gadis kecil yang usianya belum menyentuh setahun itu sudah menangis tersedu-sedu. Sekumpulan ibu-ibu yang mengelilingi bocah kecil itu sibuk menenangkannya. Namun ia masih menangis.

Hari itu, anak perempuan yang tak disebutkan namanya ini akan menjalani sunat, sesuai dengan adat yang berlaku di kampung halamannya. Seorang bidan berkerudung menyingkap kain putih yang menutupi bagian bawah tubuh si anak hingga kemaluannya terlihat.

Jeritan si anak semakin kencang. Namun, bidan mengacuhkannya dan mengambil sebilah pisau kecil. Setelah sebelumnya mengelus-elus kemaluan si bayi, bidan kemudian mengarahkan pisau tersebut ke sana.

Kamera tak menampilkan apa yang terjadi, namun penonton sudah mendapatkan gambaran dari jeritan si anak yang jadi semakin tak terkendali. Sebagian penonton yang hadir tampak memalingkan wajah saat adegan tersebut berlangsung.

Kira-kira, itulah yang dapat ditemukan bila menyaksikan prosesi sunat perempuan di Gorontalo. Lebih dari 80 persen perempuan di sana pernah mengalami hal tersebut, meski ritual yang disebut cubit kodo ini tidak memotong bagian klitoris perempuan.

Sebenarnya ritual ini tidak berhenti di Gorontalo saja. Masih banyak daerah lain yang menyelenggarakan kegiatan serupa, termasuk di kota-kota besar.

Siklus berulang

Selama tahun 2015, organisasi Hivos dan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultasi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (UI) melakukan penelitian terkait praktek sunat perempuan di 7 wilayah Indonesia. Lokasinya tersebar di Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Maluku.

World Health Organisation (WHO) mendefinisikan sunat perempuan sebagai 'tindakan memotong ataupun melukai sebagian atau seluruh alat kelamin wanita dengan alasan non-medis.' Tindakan tersebut dilakukan lebih karena nilai sosial, tradisi, dan agama.

"Faktanya, hingga saat ini tidak ada bukti ilmiah yang menjelaskan manfaat sunat perempuan secara medis," kata Johanna Debora Imelda dari UI saat memaparkan hasil penelitiannya di Jakarta, Jumat, 25 November 2016. Ia dan kelompok peneliti lainnya melakukan wawancara mendalam terkait kepercayaan masyarakat pelaku, sekaligus perempuan yang telah disunat. Sebanyak 700 orang menjadi responden.

Sebagian besar responden dari berbagai daerah pelaksana mengaku mereka menyunat anak perempuan karena anjuran agama (96 persen), anjuran budaya atau adat (94,3 persen), dan karena mayoritas warga kota mereka melakukan hal tersebut (93,1 persen).

Anak-anak tersebut sebagian besar dibawa saat mereka belum menyentuh usia sadar, atau masih di bawah 1 tahun. Alasannya, supaya tidak terlalu membuat trauma.

"Tapi ada juga yang sengaja menyunatkan anak perempuan mereka saat di sekolah dasar atau bahkan remaja. Supaya bisa memahami budaya sunat, dan melanjutkan tradisi ini," kata Debora. Hasilnya luar biasa, 99 persen responden mengaku akan menyunatkan kembali anak perempuan mereka.

Kalaupun ada yang tidak, itu karena anak perempuan mereka dirasa masih belum cukup umur.

Alasan diskriminatif

Mengapa para orang tua, terutama ibu-ibu, begitu ingin anak perempuan mereka untuk disunat? Peran kepercayaan adat dan keagamaan sangatlah besar.

Debora menemukan berbagai alasan, seperti 'untuk menjadi Islam taat haruslah disunat' atau 'supaya nafsu seks anak perempan tidak besar.' Bahkan, ada daerah seperti di Bima, yang mengecap perempuan tidak disunat sebagai binal dan disamakan dengan pelacur.

"Di daerah tersebut, laki-laki kalau mau meminang perempuan juga pertama-tama akan menanyakan apakah sudah disunat atau belum," lanjutnya. Ritual ini menjadi sesuatu yang mandatori, terutama bagi orang tua yang takut anak perempuannya tidak akan menikah.

Default Image IDN

Situasi anak perempuan sendiri menjadi lebih rentan, karena persepsi masyarakat sekitar terhadap perilakunya akan selalu berkaitan dengan apakah ia disunat atau tidak. Debora menilai anak tersebut akan teralienisasi dari tubuhnya sendiri atas praktik ini.

Salah seorang pegiat perempuan dari Ambon yang berinisial DM, mengatakan di daerahnya pandangan serupa juga sangat kental. "Mereka tidak mau anak laki-lakinya menikah dengan perempuan tidak disunat. Nanti kotor, binal serta gak bisa diatur sebagai istri," kata dia kepada para peneliti.

Terkait dengan alasan keagamaan, Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali menyatakan tidak ada dalil yang benar-benar mewajibkan sunat perempuan dalam bentuk apapun. "

Dampak traumatis

Meski tidak ada manfaat secara medis, tim peneliti juga tidak bisa menemukan dampak kesehatan negatif yang berkepanjangan pada penyintas sunat. Memang ada beberapa yang mengalami gangguan saluran kencing ataupun di area pinggul, tetapi tidak dinyatakan akibat sunat.

"Sejauh ini paling jelas waktu mereka anak-anak. Ada yang pendarahan seperti orang habis melahirkan, nyeri waktu buang air. Ada juga yang setelah disunat langsung disuruh berendam di air laut," kata Debora.

Dampak trauma sendiri dirasakan oleh penyintas sunat perempuan Nong Darol Mohandah. Ia mengalami ritual tersebut saat berusia 9 tahun, di kampung halamannya di Banten. Saat itu, ia baru saja pulang sekolah ketika dipanggil masuk rumah.

"Pas masuk ada umi (ibu) dan bidan yang memang saya kenal. Saya dipangku, dibilang mau disunat," kata dia. Meski sunat yang dilakukan hanya simbolis, dengan mengusap air kunyit ke kemaluannya, Nong mengaku tetap trauma.

Bagaimanapun juga, bagian pribadinya telah disentuh oleh orang tak dikenal. Ia sendiri pun tak menghendaki disunat. Namun, karena keluarganya memiliki latar belakang pesantren yang kental, maka ia mau tak mau harus menjalaninya.

Setelah dewasa dan berkeluarga, kejadian tersebut berulang lagi, terhadap anak perempuannya. Ia melahirkan di suatu rumah sakit yang berlokasi di daerah Menteng, Jakarta Pusat.

"Saya tak mau anak perempuan saya disunat, dan sudah menekankan ke suami dan keluarga. Tetapi begitu saya sadar paska melahirkan, suster dengan entengnya bilang anak saya sudah disunat," kata dia. Menurut Nong, klitoris anaknya ditusuk dengan jarum dan obat merah Betadine.

Sontak ia terkejut dan protes, karena sunat dilakukan tanpa persetujuannya. Namun, suster mengatakan kalau sudah menjadi 'kebiasaan' bayi perempuan muslim yang baru lahir akan langsung di sunat.

Menyebar

Nong mengaku heran, karena kejadian tersebut berlangsung di kota besar, yakni Jakarta, yang sudah modern. Ia tak bisa membayangkan apakah di rumah sakit lainnya, praktik sunat perempuan juga berlangsung dalam senyap?

Penulis Okky Madasari juga berbagi kisah serupa. "Waktu itu, saya mau membawa anak perempuan saya untuk vaksin, ke bidan bayi yang saya juga kenal. Tapi waktu bertemu bidan, dia menawarkan anak perempuan saya untuk disunat," kata ibu beranak dua ini.

Sama seperti Nong, Okky juga terkejut karena ia bidan tersebut beroperasi di Jakarta Selatan. Dari situ, ia menilai kalau kota besar pun tak luput dari sunat perempuan.

Debora membenarkan hal tersebut. Menurut dia, penelitian sunat perempuan sudah berlangsung sejak tahun 1800-an, dari berbagai lembaga lokal maupun asing. Hasilnya sangat mengejutkan.

"Daerah yang sebelumnya kami kira tidak ada, ternyata ada. Bisa dibilang 70 persen daerah di Indonesia melaksanakan sunat perempuan," kata dia. Hal ini tak berbasis agama semata, bahkan di daerah yang mayoritas non-muslim pun, sunat tetap dijalankan dengan dasar adat.

Solusi

Lantas, bagaimanakah cara untuk menghapus sunat perempuan dari Indonesia? Pemerintah sudah beberapa kali melarang sunat perempuan, seperti lewat surat edaran tahun 2006 yang menyatakan hal tersebut tidak bermanfaat secara medis.

Tetapi, 2 tahun kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kalau sunat merupakan syiar Islam sehingga harus dilakukan dengan batasan sesuai hukum Islam. Akhirnya, pada 2011, terbitlah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengizinkan tenaga medis menyunat anak perempuan dengan batasan yang diatur.

Default Image IDN

"Baru pada 2014 permenkes dicabut, dan Kemenkes meminta MUI membuat pedoman sunat yang tidak melukai alat kelamin," kata Khariroh. Fatwa MUI sendiri masih tetap ada, dan belum ada tanda-tanda untuk dicabut kendati penolakan terhadap sunat perempuan yang terus meluas.

Menurut Khariroh, Kementerian Kesehatan sendiri sangat ingin menghapus sunat perempuan namun terbentur kendala ini. Belum lagi penolakan dari ulama konservatif.

"Tapi kami tetap melakukan audiensi dan diskusi di daerah-daerah untuk mengubah pandangan mereka tentang sunat perempuan," kata dia. Ia juga menyetujui pernyataan Okky, tentang pentingnya mendekati tenaga medis informal seperti bidan ataupun dukun anak untuk menghentikan praktik ini.

Mereka adalah pihak yang paling banyak dicari oleh orang tua untuk menyunat anaknya. Tenaga medis formal seperti dokter sudah dilarang dan menolak untuk menjalankan praktik tersebut.

Bagaimanapun juga, menurut Debora, perjuangan ini tak akan berhasil bila masyarakat masih menganggap sunat sebagai kewajiban tradisi dan agama. "Perubahan masyarakat tradisional menjadi urban dan plural akan memberikan kebebasan untuk melakukan, dan tidak melakukan sunat perempuan," kata dia.

Bagaimanapun juga, tak dapat dipungkiri praktik yang memberikan stigma sosial dan mendiskriminasi perempuan ini harus segera diakhiri.

Bagaimana prosedur melakukan sunat perempuan?

Mutilasi genital perempuan biasanya dilakukan oleh orang yang dituakan di masyarakat (biasanya, namun tidak selalu, perempuan) yang ditunjuk oleh masyarakat untuk mengemban tugas tersebut, atau dengan bantuan bidan tradisional.

Praktik ini juga mungkin dilakukan oleh tabib atau dukun beranak, tukang cukur laki-laki, atau kadang anggota keluarga sendiri.

Pada kasus tertentu, tenaga medis profesional menyediakan layanan praktik sunat wanita. Hal ini disebut dengan “medikalisasi” sunat perempuan. Menurut perkiraan UNFPA baru-baru ini, sekitar 1 dari 5 anak perempuan menerima perlakuan sunat wanita yang disediakan oleh penyedia layanan kesehatan profesional.

Praktik sunat wanita dilakukan menggunakan pisau, gunting, pisau bedah, potongan kaca, atau bahkan silet. Anestesi dan antiseptik tidak umum digunakan pada prosedur tradisional, kecuali jika dilakukan di bawah pengawasan praktisi medis.

Setelah prosedur infibulasi (memotong seluruh bagian klitoris, labia minora, dan sebagian labia mayora), kedua kaki perempuan umumnya akan diikat bersama-sama agar anak tak bisa berjalan selama 10-14 hari, yang memungkinkan pembentukan jaringan parut.

Kenapa sunat perempuan dianggap berbahaya?

Terlepas dari kepercayaan masyarakat dan alasan menjalaninya, prosedur sunat wanita tidak aman — bahkan ketika sunat dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan terlatih di lingkungan steril.

Medikalisasi sunat perempuan hanya memberikan jaminan keamanan palsu dan tidak ada pembenaran medis untuk melakukan hal ini.

Mutilasi genital perempuan memiliki implikasi serius bagi kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.

Tingkat keseriusan dampak dari sunat wanita akan bergantung pada sejumlah faktor, termasuk jenis prosedur, keahlian dari praktisi, kondisi lingkungan (kesterilan dan keamanan tempat praktik dan peralatan yang digunakan), dan tingkat perlawanan dan kesehatan umum dari masing-masing individu yang menerima prosedur tersebut.

Komplikasi dapat timbul pada semua jenis mutilasi genital, namun yang paling berbahaya adalah infibulasi, alias sunat wanita tipe 3.1.

1. Komplikasi yang mungkin menyebabkan kematian

Komplikasi langsung termasuk nyeri kronis, syok, perdarahan, tetanus atau infeksi, retensi urin, ulserasi (luka terbuka yang sulit sembuh) pada area kelamin dan kerusakan pada jaringan di sekitarnya, infeksi luka, infeksi kandung kemih, demam tinggi, dan sepsis. Pendarahan hebat dan infeksi bisa menjadi sangat serius untuk menyebabkan kematian.

2. Kesulitan untuk hamil atau komplikasi saat melahirkan

Beberapa wanita yang menerima prosedur sunat perempuan mungkin akan kesulitan untuk hamil, dan mereka yang bisa hamil dapat mengalami komplikasi saat melahirkan. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa, dibanding wanita yang tidak pernah menjalani prosedur sunat wanita, mereka yang menerima prosedur ini menghadapi peluang yang lebih besar untuk membutuhkan prosedur operasi caesar, episiotomy, dan masa rawat inap di rumah sakit yang lebih panjang, serta pendarahan pasca-persalinan.

Perkiraan terbaru dari WHO, UNICEF, UNFPA, Bank Dunia, dan UNDP melaporkan bahwa di sejumlah negara dengan tingkat kejadian sunat wanita tertinggi di dunia juga memiliki rasio kematian ibu yang tinggi, dan tingginya jumlah kematian ibu.

3. Kematian bayi saat dilahirkan

Wanita yang menjalani prosedur infibulasi lebih mungkin untuk menjalani proses persalinan yang lebih lama dan penuh hambatan, kadang menyebabkan kematian bayi dan fistula obstetri. Janin dari ibu yang pernah mengalami mutilasi genital memiliki peningkatan risiko yang signifikan terhadap kematian saat lahir.

4. Konsekuensi jangka panjang

Konsekuensi jangka panjang termasuk anemia, pembentukan kista dan abses (benjolan bernanah akibat infeksi bakteri), pembentukan jaringan parut keloid, kerusakan pada uretra yang berakibat pada inkontinesi urin berkepanjangan, dyspareunia (hubungan seksual yang menyakitkan), disfungsi seks, peningkatan risiko terhadap penularan HIV, dan juga efek psikologis lainnya.

5. Trauma psikis

Anak yang menerima prosedur sunat wanita di usia yang sudah cukup besar dapat mengalami trauma yang menyebabkan sejumlah masalah emosional dalam hidupnya, termasuk:

  • Depresi
  • Kecemasan
  • Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), atau bayangan reka ulang terhadap pengalaman tersebut yang berkepanjangan
  • Gangguan tidur dan mimpi buruk

Stres psikologis dari pengalaman tersebut mungkin akan memicu gangguan perilaku pada anak-anak, yang berhubungan erat dengan hilangnya kepercayaan dan insting kasih sayang terhadap pengasuhnya.

Berlomba melawan tren

Sementara itu, memperingati International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation yang jatuh tepat hari ini, 6 Februari, dua badan PBB: UNFPA dan UNICEF bersama merilis pernyataan sikap mereka.

"Ini (sunat perempuan) adalah sesuatu yang bisa dihentikan. Di negara di mana UNFPA dan UNICEF bekerja sama menghentikan sunat perempuan, angka praktik sunat peremuan ini berkurang sepertiganya sejak tahun 1997. Lebih dari 25 juta orang dari 18 ribu komunitas di 15 negara sudah menentang praktik ini sejak 2008. Dan angkanya terus berkurang sejak tahun 2000."

Meski ada perubahan ke arah positif, bukan berarti perjuangan untuk melawan praktik ini harus melemah. Karena faktanya, banyak tren di banyak negara (kebanyakan negara miskin) yang masih menerapkan praktik sunat perempuan ini.

"Tahun 2030 nanti, lebih dari sepertiga kelahiran akan terjadi di 30 negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan. Jika ini dibiarkan, maka jutaan anak perempuan akan menjalani sunat perempuan ini di tahun 2030," ujar pernyataan bersama UNFPA dan UNICEF yang diterima Rappler.

"Ada 200 juta perempuan yang sudah menanggung luka dan penderitaan karena praktik sunat perempuan. Tidak ada yang diuntungkan dari semua ini. Ini adalah perjuangan melawan tren. Tapi dengan komitmen politik yang jelas dan baik serta keterlibatkan komunitas dan meluasnya pengetahuan dan empowerment di pihak perempuan, perjuangan ini bisa dimenangkan. Harus dimenangkan." —Rappler.com

Sebagian besar artikel ini sebelumnya diterbitkan di dua artikel berbeda di Rappler.com pada tanggal 31 Juli 2016 (bekerja sama dengan hellosehat.com) dan 29 November 2016

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us