Jakarta, IDN Times- “Kami ada hutan adat, tapi cuma beberapa hektare karena sudah banyak diambil perusahaan. Sampai tanah-tanah di belakang rumah kami juga punya perusahaan,” keluh Musa, Ketua Lembaga Adat Paser Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) ketika dihubungi IDN Times, Kamis (6/2/2020).
Nestapa kian menusuk relung hati setelah pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, di De Bandar Resto, Kota Balikpapan, pada 17 Desember 2019 lalu. Selang 20 menit berhadapan dengan orang nomor satu di Indonesia, Musa mendapatkan kesan bahwa pemerintah mengabaikan masyarakat adat di tengah rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Pasalnya, dari 20 tokoh masyarakat se-Kalimantan Timur yang hadir dalam pertemuan, hanya dua orang yang diberi kesempatan bicara. Mereka adalah perwakilan warga Samarinda yang dirugikan akibat pembangunan tol serta praktisi pendidikan.
Musa yang merupakan warga asli Kabupaten PPU, sekaligus mewakili Suku Paser yang terdampak langsung pembangunan, tidak diberi kesempatan berbicara.
“Kami kecewa karena hampir tidak ikut pertemuan dan tidak bisa menyampaikan aspirasi. Kami khawatir nanti hutan adat diambil perusahaan, apakah hutan adat (pengganti) sudah disiapkan? Kalau tidak bisa hilang nanti kebudayaan,” kata Musa menanggapi pertemuan Presiden Jokowi kala itu.
Ketika dikonfirmasi terpisah, Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, mengatakan bahwa rencana pertemuan sudah diatur tiga hari sebelum Jokowi tiba di Kalimantan Timur.
“Kira-kira 3-4 hari menuju ke sana, kita bilang kebetulan bapak akan meninjau. Saran dari bapak sebaiknya tokoh setempat untuk dilibatkan, sehingga sejak dini mereka sudah tahu progam. Sudah tahu tujuannya apa, jadi komunikasi terbangun,” ungkap Heru kepada IDN Times di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/2).
Heru mengakui bila alokasi waktu pertemuan sangat terbatas, meskipun agenda Jokowi sudah diatur sejak jauh-jauh hari. Namun, dia yakin dua orang yang diberi kesempatan bicara sudah mewakili aspirasi para tamu undangan.
“Jadi Pak Presiden menanyakan siapa yang ingin berbicara karena waktunya juga terbatas. Jadi mungkin diwakilkan oleh dua, kalau semuanya bicara kan nggak mungkin. Dua itu mewakili semuanya, apa yang kira-kira mereka sarankan, toh nanti akan ada pertemuan-pertemuan lagi kalo sudah fix,” tambahnya.
Nubuat Suku Paser bahwa keramaian akan tiba di Nagari Paser "memaksa" mereka untuk menyambut pemindahan IKN dengan tangan terbuka. Meski begitu, Musa khawatir ketika masa itu tiba, budaya serta tradisi yang sudah dijaga selama ratusan tahun ikut punah.
“Kami sebenarnya mendukung pemindahan IKN di PPU. Tapi, kami juga khawatir nanti dengan budaya yang sudah dilestarikan. Bagaimana pengakuan terhadap masyarakat Paser? Kami gak mau seperti orang Betawi yang tersingkir karena Ibu Kota,” tambah dia.
Bagi dia, satu-satunya jaminan supaya tradisi Suku Paser tidak terkikis di tengah pembangunan IKN adalah pemerintah bersama DPR RI harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“RUU (Masyarakat Adat) itu penting. Karena nanti kami masyarakat adat Suku Paser diakui pemerintah. Budaya bisa dilestarikan, pemukiman dan hutan kami juga dipastikan ada,” harapnya.