Ilustrasi pernikahan (unsplash.com/Jeremy Wong Weddings)
Ega pun melampirkan uji materiil dengan data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dalam periode 2005 hingga Juli 2023, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya.
Perkawinan antaragama dinilai sebagai realitas sosial masyarakat. Ega mengatakan, Indonesia sebagai negara majemuk bukan hanya sekadar realitas sosiologis, tetapi juga merupakan bagian dari identitas konstitusional bangsa.
Ia menegaskan, dalam konteks kehidupan bernegara, hukum tidak boleh dipisahkan dari realitas kemajemukan tersebut. Melainkan harus hadir sebagai sarana yang mengintegrasikan perbedaan, menjaga ketertiban sosial, dan melindungi seluruh warga negara secara setara tanpa membedakan latar belakang bahasa, suku, agama, ataupun kepercayaannya.
Tindakan penyelenggara negara disebut harus didasarkan pada hukum dan menjamin keadilan serta kepastian hukum bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Terlebih Indonesia adalah negara hukum.
Ega tak memungkiri, perkawinan antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun menurutnya, cinta tidak pernah bisa direncanakan.
Tidak semua orang menemukan pasangan dengan agama yang sama. Seringkali interaksi sosial antar warga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya.
Ia beranggapan, menutup mata terhadap realitas sosial kemajemukan masyarakat Indonesia akan melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Sementara mengakuinya secara konstitusional justru akan menjadikan hukum lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Oleh karena itu, perkawinan antaragama itu sebenarnya realitas sosial masyarakat Indonesia, dan hal tersebut tidak bisa diabaikan,” ucap dia.
Adapun dalam petitum permohonan, Ega meminta agar MK menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
MK juga diminta menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.
"Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally consitutional) dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," bunyi petitum tersebut.
Sebenarnya, MK pernah menguji pasal serupa dalam perkara nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022. Namun MK dalam amar putusannya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.