UU Soal Perkawinan Beda Agama Digugat ke MK

Jakarta, IDN Times - Seorang Pemohon bernama Muhamad Anugrah Firmansyah melakukan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang terdaftar pada 4 November 2025 tercatat dengan nomor perkara 212/PUU-XXIII/2025. Pemohon mempermasalahkan soal tidak adanya kepastian hukum pernikahan beda agama.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, yang menyatakan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dia meminta agar MK menyatakan ketentuan itu tidak dijadikan dasar hukum untuk menolak pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan.
Dalam permohonan yang diajukan, Pemohon juga menyebut pasal tersebut tidak menjelaskan secara jelas dan tegas perkawinan dalam konteks pencatatan perkawinan antara pasangan yang memiliki agama berbeda. Sehingga menimbulkan ketidakjelasan norma dan multitafsir yang berakibat pada ketidakpastian hukum.
"Bahwa, ketidakjelasan norma a quo telah dimaknai seolah-olah hanya perkawinan antar pasangan seagama yang dapat dicatatkan. Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antar agama," ujar Anugrah dalam berkas permohonan, dikutip Selasa (12/11/2025).
1. Pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang beda agama

Pemohon juga mengalami kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual. Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan mengakibatkan Pemohon tidak bisa menikah dengan pasangan yang beragama berbeda.
Kerugian yang dialami Pemohon semakin nyata dan potensial setelah diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan yang secara tegas melarang pengadilan mengabulkan penetapan pencatatan perkawinan antar agama.
"Bahwa kerugian konstitusional Pemohon bersifat spesifik dan aktual karena ketidakjelasan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan telah menyebabkan Pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang memiliki agama berbeda," jelas Anugrah.
Selain tidak adanya kepastian hukum dalam pencatatan perkawinan, terdapat pula kerugian potensial lanjutan berupa tidak adanya kepastian terhadap hak dan kewajiban suami-istri, hak anak, hak keluarga, hak waris, dan hak-hak lainnya yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Pemohon juga mengungkap, terdapat hubungan sebab-akibat atau causal verband, antara kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
"Apabila Mahkamah mengabulkan pengujian permohonan a quo, maka kerugian konstitusional yang dialami Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi," tegas Anugrah.
2. Cinta tak pernah bisa direncanakan

Pemohon lantas membahas soal perkawinan antaragama sebagai realitas sosial masyarakat Indonesia. Dia menyampaikan, Indonesia merupakan negara majemuk yang bukan sekadar realitas sosiologis, tetapi juga merupakan bagian dari identitas konstitusional bangsa Indonesia.
"Pancasila, sebagai dasar negara, mengakui keberadaan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan sebagai fondasi kehidupan bersama dalam masyarakat yang heterogen," ungkap Anugrah.
Dia menegaskan, dalam konteks kehidupan bernegara, hukum tidak boleh dipisahkan dari realitas kemajemukan tersebut, melainkan harus hadir sebagai sarana yang mengintegrasikan perbedaan, menjaga ketertiban sosial, dan melindungi seluruh warga negara secara setara tanpa membedakan latar belakang bahasa, suku, agama, ataupun kepercayaannya.
Tindakan penyelenggara negara disebut harus didasarkan pada hukum dan menjamin keadilan serta kepastian hukum bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Terlebih Indonesia adalah negara hukum.
"Dalam konteks negara yang majemuk, hukum menjadi instrumen pemersatu sekaligus pelindung hak asasi manusia, termasuk dalam perkawinan sehingga negara tidak boleh membiarkan ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara, termasuk Pemohon," tutur Anugrah.
Pemohonan tak memungkiri, perkawinan antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal.
"Namun demikian, cinta tidak pernah bisa direncanakan. Tidak semua orang menemukan pasangan dengan agama yang sama. Seringkali interaksi sosial antar warga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara itu, di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya," tegas dia.
Menurut Pemohon, menutup mata terhadap realitas sosial kemajemukan masyarakat Indonesia akan melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Sementara mengakuinya secara konstitusional justru akan menjadikan hukum lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.
3. Petitum permohonan

Adapun dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. MK juga diminta menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.
"Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally consitutional) dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," tulis Pemohon.



















