Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito ketika memberikan keterangan pers pada Selasa, 8 Maret 2022 (Tangkapan layar YouTube BNPB)

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito memastikan, hanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang memiliki kewenangan untuk mengubah status pandemik COVID-19 menjadi endemik. Sehingga, negara tertentu tidak bisa secara sepihak mengumumkan status pandemik telah bergeser ke endemik. 

"Penetapan status endemik merupakan otoritas Badan Kesehatan Dunia (WHO). Karena untuk mengubah (status) pandemik yang berdampak di banyak negara, diperlukan perbaikan kasus di tingkat global," ungkap Wiku seperti dikutip dari YouTube BNPB, Kamis (10/3/2022). 

Ia menambahkan, pada umumnya pergeseran menuju ke endemik dilakukan bila terjadi penurunan kasus harian dan angka kematian yang rendah bahkan nol dalam jangka waktu tertentu. Kondisi itu, kata Wiku, hanya dapat tercapai bila masyarakat secara kolektif melakukan pengendalian COVID-19. 

Lalu, apakah artinya sikap pemerintah yang kini mulai melonggarkan beberapa pengetatan termasuk menghapus tes antigen dan PCR bagi pelaku perjalanan domestik, sudah dianggap tepat jelang memasuki periode transisi ke fase endemik?

1. Selama wabah COVID-19 masih ada, kebijakan karantina idealnya tidak dihapus

Ilustrasi hotel (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Tanda bahwa Indonesia mulai menuju ke fase transisi endemik ditandai dengan adanya sejumlah pelonggaran pembatasan oleh pemerintah. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Senin, 7 Maret 2022 lalu, mengumumkan tiga kebijakan. 

Pertama, pemerintah menghapus kewajiban untuk tes swab PCR atau swab antigen bagi pelaku perjalanan di dalam negeri. Kedua, kebijakan karantina wajib bagi PPLN (Pelaku Perjalanan Luar Negeri) dipangkas menjadi satu hari dan ke depan akan dihapuskan. Ketiga, acara-acara olahraga sudah bisa disaksikan secara langsung oleh penonton. 

Luhut mengatakan, kebijakan itu diambil berdasarkan data dan masukan dari sejumlah ahli. Sedangkan, Satgas Penanganan COVID-19 menyebut bahwa Indonesia mengikuti langkah sejumlah negara yang sudah melonggarkan pembatasan, salah satunya Arab Saudi. 

Tetapi, dalam pandangan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, membandingkan kebijakan penanganan COVID-19 di Tanah Air dengan di Saudi tidak setara.

"Membandingkan kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dan Saudi itu sama saja membandingkan apel dengan jeruk. Jadi, tidak bisa disamakan. Kita juga tak bisa mencontoh kebijakan yang berlaku di Saudi hari ini untuk diterapkan di Indonesia dengan kondisi hari ini," ungkap Hermawan kepada media, Rabu 9 Maret 2022. 

Ia menambahkan, dalam kebijakan penanganan wabah, karantina wajib tidak bisa dihapus. Sebab, kebijakan karantina untuk mengatasi wabah tertulis di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.

"Karantina merupakan instrumen yang tidak hanya menjadi mitigasi risiko bagi penyakit-penyakit lain, geo genetika yang bisa menular bila ada interaksi antara WNI dengan warga negara lainnya sehingga memunculkan varian atau sub varian baru, tetapi juga mencegah agar hal itu tidak masuk ke dalam negeri," kata dia. 

Ia juga menilai, idealnya durasi waktu karantina berkisar 3 hingga 5 hari. Dengan begitu, bisa mencegah adanya kebobolan dari varian-varian baru lainnya masuk ke Indonesia.

2. Penghapusan kewajiban tes bisa berdampak pada penurunan jumlah orang yang dites

Editorial Team

Tonton lebih seru di