Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Pengamat kebijakan publik Alvin Lie mendesak Satgas Penanganan COVID-19 menjelaskan soal kecolongan pasien yang terinfeksi Omicron, dan diberi dispensasi dapat menjalani isolasi mandiri di rumah.

Pasien itu diketahui baru kembali dari Inggris dan diberi dispensasi oleh Satgas tak menuntaskan karantina wajibnya di hotel selama 10 hari. Kini, setelah dilakukan pengurutan genome, pasien tersebut dinyatakan terinfeksi varian baru COVID-19 Omicron. 

"Demi pertanggung jawaban publik dan kesehatan, harus diungkap siapa pejabat di Satgas Penanganan COVID-19 yang memberikan dispensasi itu. Dalam kapasitas apa dia memberikan dispensasi karantina itu? Apakah dispensasi diberikan dalam dokumen tertulis atau penyampaian secara lisan?" ungkap Alvin ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (27/12/2021). 

Bahkan, menurut Alvin, identitas pasien Omicron yang tak menjalani isolasi terpusat di fasilitas pemerintah harus diungkap ke publik. Hal tersebut, kata dia, juga merupakan bagian dari upaya pelacakan atau tracing

"Bila keberatan membuka namanya, minimal dibuka pergerakan aktivitasnya. Kalau di Australia, kebijakan seperti itu yang diterapkan. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi," kata pria yang pernah menjadi Komisioner Ombudsman RI itu.

Dengan begitu, kata Alvin, penyebaran varian Omicron bisa dikendalikan dengan cepat. Dia juga menyentil Satgas yang melanggar sendiri Surat Edaran (SE) Nomor 25 Tahun 2021, mengenai protokol yang mengatur kewajiban karantina bagi pelaku perjalanan internasional.

Dalam surat edaran itu disebut dispensasi hanya diberikan bagi pejabat eselon I dan di atasnya, agar bisa melakukan karantina di rumah. Keluarga pejabat tersebut wajib karantina di hotel. Faktanya, pasien Omicron yang kini isoman di rumah tak masuk klasifikasi pejabat tinggi eselon I dan di atasnya atau anggota DPR.

Apakah aturan yang memberikan dispensasi karantina bagi pejabat tinggi masih relevan diberlakukan, setelah terjadi kecolongan pasien Omicron?

1. Kedatangan WNI sebaiknya diatur agar tidak menumpuk

Ilustrasi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) (Dok. Angkasa Pura II)

Salah satu upaya membentengi agar Omicron tak menyebar di masyarakat, yakni melalui kewajiban karantina. Sementara, data dari Kementerian Kesehatan menyebut sekitar 3.000 orang tiba di Tanah Air dari luar negeri setiap harinya. Alhasil, terjadi penumpukan warga yang hendak dikarantina di terminal kedatangan di bandara.

Maka itu, Alvin mengusulkan, pemerintah mengatur volume masuknya WNI dari luar negeri. Sehingga mereka semua bisa dilayani dengan baik, dan mengikuti karantina wajib selama 10 hingga 14 hari. Apalagi, pintu kedatangan menggunakan pesawat udara hanya boleh lewat Bandara Soekarno-Hatta, Banten dan Bandara Sam Ratulangi, Sulawesi Utara. 

"Jadi, dibuat aturan bahwa masing-masing maskapai per hari hanya boleh mengangkut sekian banyak penumpang," kata dia. 

Dengan begitu, sambung Alvin, diharapkan tidak ada lagi penumpukan penumpang yang datang dari luar negeri. Proses masuk ke tempat karantina wajib pun bisa lebih cepat.

Alvin juga mengusulkan agar ada kerja sama dengan pihak maskapai. Sehingga WNI yang berada di luar Indonesia diminta juga wajib memesan hotel untuk karantina, sebelum mereka bisa membeli tiket penerbangan. 

"Dengan begitu, mereka akan tahu apa yang akan dihadapi begitu tiba di Indonesia. Kan sebelum masuk ke Tanah Air, semua diwajibkan untuk lakukan pre depature PCR dan pre departure hotel reservation," ujar dia. 

Sementara, lanjut Alvin, bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau mahasiswa sebelum masuk ke Tanah Air, mereka sudah minta surat keterangan dari KBRI atau Konsul Jenderal RI di negara asal. Dengan begitu, mereka bisa lebih cepat menjalani karantina terpusat di fasilitas milik pemerintah. 

"Jadi, ketika tiba di bandara sudah dicek, begitu tiba di Indonesia, akan dikarantina di mana," tutur dia. 

2. Dispensasi karantina tak diperlukan bagi pejabat tinggi

Editorial Team

Tonton lebih seru di