Ilustrasi anak muda milenial dan Gen Z (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Salah satu yang diwawancarai adalah mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Bandung, Bekti Eko Prasetyo. Dia mengatakan, sebagai anak muda masih meraba bagaimana arah kebijakan Prabowo-Gibran setelah berusia satu tahun.
Ia berujar, apabila dilihat secara keseluruhan, satu tahun pertama Prabowo-Gibran masih jadi fase penyiapan fondasi. Banyak kebijakan sudah mulai bergerak, tapi dampaknya belum sepenuhnya terasa bagi masyarakat luas. Pemerintah sudah menunjukkan niat baik dengan arah kebijakan yang strategis, tapi keberhasilan Asta Cita akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan itu dijalankan secara konsisten, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil terutama generasi muda yang nantinya akan jadi motor utama pembangunan.
"Sebagai generasi muda, kita boleh optimis terhadap arah visi besar Prabowo–Gibran, tapi tetap perlu kritis dan aktif mengawal agar setiap janji dan target dalam Asta Cita bukan cuma jadi wacana politik, melainkan benar-benar berubah menjadi aksi nyata di lapangan," kata Bekti kepada IDN Times.
Bekti yang merupakan warga Jakarta ini menyebut, secara umum arah kebijakan Prabowo-Gibran memang menarik dan progresif karena menyentuh hal-hal fundamental seperti kemandirian ekonomi, pembangunan berkelanjutan, hingga pemberdayaan generasi muda. Namun dalam implementasinya, belum semua janji Prabowo-Gibran bisa terasa langsung di masyarakat.
"Jadi kalau ditanya aku lebih optimis atau pesimis, mungkin posisiku di tengah-tengah, optimis tapi tetap realistis. Ada langkah yang sudah kelihatan, tapi masih banyak PR yang harus diberesin," tegasnya.
Lebih lanjut, Bekti menanggapi isu di tiga poin pertama Asta Cita Prabowo-Gibran. Poin pertama, khusus dengan implementasi Pancasila dan HAM, pemerintah disebut memang sering menegaskan pentingnya nilai-nilai kebangsaan, terutama dalam memperkuat ideologi Pancasila di tengah arus globalisasi dan polarisasi politik. Tapi dalam praktiknya, penerapan nilai-nilai demokrasi dan HAM masih menghadapi tantangan besar.
Beberapa kasus pembatasan kebebasan berekspresi di ruang digital masih muncul, begitu juga dengan penanganan isu HAM yang kadang dianggap belum transparan dan tegas.
"Padahal, idealnya Pancasila dan HAM bukan cuma dijadikan simbol, tapi benar-benar diwujudkan dalam kebijakan publik yang memberi ruang bagi dialog dan partisipasi warga negara," tutur Bekti.
Ia menyoroti survei nasional dari Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan bahwa meskipun sekitar 78 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja awal pemerintahan Prabowo–Gibran, kepercayaan terhadap kebebasan berekspresi masih terbelah, di mana sekitar 40 persen responden merasa takut menyampaikan pendapat politik di ruang publik. Hal itu disebut menunjukkan masih ada jarak antara retorika dan realitas yang harus dijembatani lewat kebijakan yang lebih terbuka dan partisipatif.
Poin kedua Asta Cita terkait dengan kemandirian bangsa, terutama dalam hal pangan, energi, dan ekonomi hijau, pemerintah dianggap sudah mulai mengambil langkah-langkah awal yang cukup konkret. Misalnya, dalam bidang energi, pemerintah menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 17 sampai 20 persen pada tahun 2025, dan sudah ada lebih dari 50 proyek pembangkit energi terbarukan yang mulai beroperasi di berbagai daerah.
"Namun, data terakhir dari Kementerian ESDM yang aku ambil di tahun 2024 sebagai bahan penelitian aku, itu menunjukkan realisasi baru mencapai sekitar 14,6 persen, jadi target itu masih butuh percepatan," ujarnya.
"Terkait dengan sektor pangan, pemerintah memang mendorong program swasembada lewat peningkatan produktivitas pertanian dan pembangunan lumbung pangan baru. Tapi faktanya, impor beras dan komoditas pangan lain masih terjadi karena faktor cuaca ekstrem dan kenaikan biaya logistik. Jadi bisa dibilang, arah kebijakan sudah ke jalur yang benar, tapi hasil nyatanya belum sepenuhnya terasa di lapangan," ungkap Bekti.
Di sisi lain, perkembangan ekonomi kreatif dan ekonomi hijau mulai menunjukkan tren positif, terutama dari anak muda banyak UMKM dan start-up yang mengangkat produk lokal dan berorientasi pada keberlanjutan. Ini menandakan, kemandirian bangsa sebenarnya mulai tumbuh dari bawah, bukan hanya dari program pemerintah.
Kemudian poin ketiga Asta Cita soal lapangan kerja dan kewirausahaan, Bekti menilai isu ini jadi yang paling dekat dengan kehidupan generasi muda.
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS, yang saya ambil di bulan Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia turun ke level 4,76 persen, yang merupakan angka terendah sejak krisis 1998. Bahkan tercatat ada 3,59 juta lapangan kerja baru dalam satu tahun terakhir. Angka ini jelas menunjukkan ada kemajuan dalam penciptaan pekerjaan. Tapi kalau kita dalami lagi, sebagian besar pekerjaan yang muncul masih berada di sektor informal dan dengan upah yang relatif rendah," jelasnya.
Data BPS juga mencatat rata-rata upah buruh nasional hanya sekitar Rp3,09 juta per bulan, angka yang di banyak kota besar masih di bawah kebutuhan hidup layak. Oleh sebab itu, yang perlu jadi catatan Prabowo-Gibran ialah meskipun angka pengangguran turun, kualitas pekerjaan masih jadi tantangan utama.
Bekti memaparkan, sebenarnya semangat kewirausahaan dan industri kreatif di kalangan anak muda semakin meningkat. Banyak mahasiswa dan fresh graduate yang mulai membangun usaha sendiri, entah lewat produk digital, kuliner, fashion, atau konten kreatif. Pemerintah sudah menyiapkan beberapa program dukungan seperti pelatihan, akses modal UMKM, hingga insentif pajak.
Kendati begitu, masih banyak pelaku wirausahawan muda yang masih kesulitan mengakses pendanaan atau jaringan pasar yang lebih luas. Artinya, kebijakan sudah ada, tapi perlu dikawal supaya dampaknya lebih terasa langsung di lapangan.
Di samping itu, dari sisi infrastruktur, Bekti tak memungkiri pembangunan fisik masih jadi salah satu kekuatan utama pemerintahan ini. Proyek jalan, bendungan, hingga infrastruktur digital terus berlanjut. Bekti menegaskan yang menjadi tantangan ke depan bukan hanya membangun infrastruktur, melainkan bagaimana memastikan pembangunan benar-benar mendorong pemerataan ekonomi dan meningkatkan produktivitas masyarakat.