Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
00f8911b-5b2b-4b99-ac7b-c333b7a18b3c.jpeg
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kota Sukabumi (IDN Times/Siti Fatimah)

Intinya sih...

  • Kapolri adalah jabatan karier struktural

  • Apabila ketentuan jabatan Kapolri dilakukan perubahan melalui Putusan MK akan terjadi disparitas

  • Permohonan para pemohon yang diajukan mahasiswa

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Pemerintahan, Oce Madril mengatakan persetujuan DPR dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) oleh Presiden merupakan bagian dari penerapan hak prerogratif Presiden yang konstitusional sehingga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Hak prerogratif Presiden dalam pemberhentian dan pengangkatan Kapolri tetap harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

“Pengangkatan Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR merupakan bagian dari penerapan hak prerogratif Presiden yang konstitusional,” ujar Oce selaku Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri dalam Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, pada Rabu (6/8/2025).

1. Kapolri adalah jabatan karier struktural

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kota Sukabumi (IDN Times/Siti Fatimah)

Oce melanjutkan, persetujuan DPR merupakan implikasi dari fungsi pengawasan DPR terhadap pengawasan pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public official). Oce mangatakan jabatan Kapolri adalah jabatan karier struktural. Selain syarat kepangkatan dan karier, syarat utama Kapolri harus berstatus sebagai Perwira Tinggi Polri yang masih aktif. Hal ini berbeda dengan jabatan Jaksa Agung, yang tidak harus berstatus sebagai Jaksa yang masih aktif.

Kapolri bukan bagian dari kabinet. Jabatan Kapolri tidak bisa diberlakukan fixed term. Oleh karena itu, frasa ”berakhirnya masa jabatan” harus dibaca secara utuh dengan frasa lainnya dalam Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU Polri.

Terdapat syarat subjektif dan objektif dalam pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Syarat subjektif, berkaitan dengan ”berakhirnya masa jabatan” Kapolri yang secara subjektif ditentukan oleh Presiden dengan hak prerogratifnya. Sementara syarat obyektif, yaitu berhenti atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dan dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Apabila ketentuan jabatan Kapolri dilakukan perubahan melalui Putusan MK akan terjadi disparitas

Kapolri Listyo Sigit Prabowo melakukan ground breaking dapur SPPG di Manahan, Solo. (IDN Times/Larasati Rey)

Kemudian, Presiden/Pemerintah juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono sebagai Ahli. Dia menjelaskan adanya frasa “alasan yang sah” dan “antara lain” menunjukkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri bukan merupakan norma hukum karena tidak berisi penilaian atau sikap yang harus dilakukan/tidak dilakukan atau dilarang/tidak dilarang, bukan merupakan perintah, larangan, perkenan, menguasakan, dan/atau menyimpangkan ketentuan tertentu.

Penjelasan dimaksud merupakan uraian terhadap kata, frasa, dan kalimat yang disertai dengan contoh sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud, sehingga tidak terdapat ketidakpastian hukum. Menurutnya, apabila ketentuan perihal jabatan Kapolri dilakukan perubahan melalui Putusan MK, maka akan menimbulkan disparitas terhadap jabatan yang berada dalam satu rumpun.

“Jadi konstruksi Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU 2/2002 tidaklah mengikat sebagai norma melainkan memberikan tafsir resmi hubungan dengan pasal-pasal yang lain,” kata Bayu.

3. Permohonan para pemohon yang diajukan mahasiswa

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Permohonan ini diajukan Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa. Mereka menguji Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya”. Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”

Para Pemohon mengatakan frasa ‘disertai dengan alasannya’ dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.

Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.

Ketiganya memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah, antara lain: a. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet; b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; c. permintaan sendiri; d. memasuki usia pensiun; e. berhalangan tetap; f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan para Pemohon memohon agar Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Editorial Team