Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Dzulfikar Ahmad Tawalla mengatakan, kehadiran polisi aktif dalam struktur kelembagaan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) sangat strategis.

  • KP2MI dan Polri telah menyepakati pembentukan desk khusus untuk menangani pekerja migran ilegal dan TPPO.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Dzulfikar Ahmad Tawalla menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Polri, yang meminta agar polisi aktif tidak menduduki jabatan sipil.

Dzulfikar mengatakan, kehadiran polisi aktif dalam struktur kelembagaan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) sangat strategis, khususnya terkait penanganan kompleksitas persoalan migran ilegal dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

“Ini dari pandangan saya perlunya KP2MI membutuhkan penegakan hukum (Polri),” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

1. Penegakan hukum terkait TPPO lebih cepat dan efisien

Pengungkapan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus program magang ke negara Jerman (ferienjob) oleh Badan Reserse Kriminal Direktorat Tindak Pidana Umum (Dit Tipidum) Bareskrim Polri (dok. Bareskrim Polri)

Dzulfikar menjelaskan, KP2MI dan Polri telah menyepakati pembentukan desk khusus untuk menangani pekerja migran ilegal dan TPPO. Keberadaan desk tersebut, katanya, akan mempercepat proses penanganan karena koordinasi dapat dilakukan secara langsung.

“Dengan polisi aktif dalam struktur KP2MI, penegakan hukum terkait TPPO dapat lebih cepat dan efisien, karena koordinasi dan komunikasi lebih cepat serta pencegahan pengiriman PMI ilegal lebih bisa massif dilaksanakan,” tuturnya.

2. Berpengalaman investigasi dan intelijen

Wakil Menteri P2MI Dzulfikar Ahmad Tawalla. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Ia menilai,, pengalaman polisi aktif dalam investigasi, intelijen, dan kerja operasional hukum relevan dengan persoalan migran ilegal dan eksploitasi. Sementara KP2MI memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia, anggaran, dan kewenangan penegakan hukum.

“Polisi aktif yang ditempatkan di KP2MI tentu sudah berpengalaman dalam melakukan investigasi, intelijen, dan kerja operasional hukum, yang sangat relevan untuk menangani kasus migran ilegal dan eksploitasi. Hal ini penting karena KP2MI memiliki keterbatasan dari sisi SDM, anggaran, dan kewenangan penegakan hukum,” ujarnya.

Dzulfikar menegaskan, pelindungan pekerja migran menjadi perhatian khusus Presiden RI. Ia menyebut jumlah PMI prosedural dan nonprosedural saat ini berbanding sama. Bahkan, mekanisme keberangkatan PMI nonprosedural umumnya melibatkan pihak-pihak yang melanggar hukum.

“Hal ini tentu cara dan mekanisme pemberangkatannya melalui pihak-pihak atau oknum yang tidak mematuhi aturan dan melanggar hukum, maka perlunya penegak hukum (Polri) dapat membantu tugas KP2MI dalam prosesi pencegahan dan penindakan pelaku-pelaku penempatan PMI ilegal,” ujarnya.

Menurut Dzulfikar, salah satu direktorat baru di KP2MI kini diisi oleh perwira tinggi Polri, yaitu Direktur Siber. Ia menilai, keberadaan Polri di kementerian sebagai langkah strategis yang mendapat respons positif.

“Sejauh ini telah berhasil melakukan patroli siber dan melakukan take down sebanyak 1.200 postingan media sosial hasil koordinasi dengan berbagai pihak,” ucapnya.

“Sangat (membantu), dan sejauh ini tidak ada kendala dalam hal komunikasi dan kerja sama tim. Bahkan anggota Polri punya satu kelebihan karena terbiasa kerja cepat termasuk kerja dalam situasi genting seperti penanganan kasus-kasus TPPO dan pencegahan pengiriman PMI ilegal,” imbuh dia.

3. MK kabulkan permohonan uji materiil UU Polri

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

MK sebelumnya mengabulkan secara keseluruhan permohonan uji materiil Pasal 28 ayat 3 dan Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri. Permohonan yang teregister dengan nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu berkaitan dengan penugasan anggota Polri di luar kepolisian. Putusan ini menegaskan, Kapolri tak bisa arahkan polisi aktif duduki jabatan sipil.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Utama, MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan, Hakim MK, Ridwan Mansyur menjelaskan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat 3.

“Yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud,” kata Ridwan.

MK berpandangan, hal tersebut berdampak pada ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.

Adapun, perkara ini dimohonkan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite. Syamsul Jahidin merupakan mahasiswa doktoral sekaligus advokat. Sedangkan Christian Adrianus Sihite adalah lulusan sarjana ilmu hukum yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian".

Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri".

Dalam persidangan sebelumnya di MK pada Selasa (29/7), Syamsul mengatakan, terdapat anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, Kepala BNPT. Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

Hal itu sejatinya bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Menurutnya, tidak adanya pembatasan yang pasti terkait dengan penjelasan dalam aturan hukum tersebut memberikan celah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan status keanggotaannya secara definitif. Pasal 28 ayat 3 UU Polri telah menciptakan ketidaksetaraan dalam hukum dan pemerintahan, sehingga melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum dan mengabaikan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Norma tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat. Untuk itu, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Editorial Team