Soeharto Dihapus dari TAP, Pakar: Mau Hindarkan Presiden dari Hukuman

Intinya sih...
- Pakar hukum tata negara mempertanyakan motif MPR mengutak-atik TAP MPR di penghujung kepemimpinannya.
- Mantan presiden dicabut dari 2 TAP MPR, namun TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tetap berlaku tanpa nama Soeharto.
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mempertanyakan motif di balik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024 mengutak-atik sejumlah TAP MPR di penghujung kepemimpinannya. Ada dua TAP MPR yang menyangkut mantan presiden dicabut.
Sementara, satu TAP MPR lainnya Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tetap berlaku. Namun, nama Soeharto dihapus dari TAP MPR tersebut. Ia menduga para elite politik ingin menghindarkan agar para mantan presiden terhindari dari hukuman.
"Penghukuman yang ingin dihindarkan ini secara politik dan hukum pada mantan-mantan presiden. Padahal, dalam negara demokratis, penghukuman pada penguasa yang zalim, melakukan kesalahan-kesalahan, sangat wajar," ujar Bivitri ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Senin (30/9/2024).
Ia menggarisbawahi argumen ini tidak didasari dendam terhadap mantan Presiden Soeharto. Namun, Bivitri melihat negara demokratis lainnya di mana negara tetap menghukum mantan presiden sebelumnya.
Salah satunya menimpa mantan Presiden AS, Donald J. Trump. Di tengah-tengah proses pencalonannya kembali jadi presiden pada 2024, Trump tetap harus menghadiri beberapa persidangan karena dugaan penggelapan pajak hingga pelecehan seksual.
"Kalau memang ada kesalahan-kesalahan yang harus diungkap dalam pengadilan, seharusnya diungkap. Memang Soeharto sudah meninggal dunia. Tapi, penghukuman secara tata negara dalam penyebutan TAP MPR, itu tidak salah," kata perempuan yang ikut tampil di film dokumenter 'Dirty Vote' itu.
1. Mantan presiden tetap harus dimintai pertanggungjawaban publik
Lebih lanjut, kata Bivitri, dengan tetap menyematkan nama Soeharto di dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, bukan berarti tidak menghormati kultur saling memaafkan. Namun, di dalam aturan dan hukum tata negara, mantan pemimpin yang zalim tetap harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada publik.
"Apakah kita memaafkan karena beliau (Soeharto) sudah meninggal? Ya, silakan. Tapi, jangan lupa pertanggung jawaban politik dan hukum tata negaranya harus tetap ada. Itulah gunanya ketetapan MPR sebagai pernyataan politik," ujar dia.
Pada 1998 dulu, mahasiswa dan aktivis turun ke jalan untuk menyuarakan enam tuntutan reformasi. Salah satunya mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.
"MPR ketika itu responsif sehingga mereka keluarkan TAP MPR itu. Jadi, baik sesungguhnya TAP MPR itu," tutur dia.
Dengan begitu, menurut dia penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR itu bermakna dua. Satu, apa yang diperjuangkan pada masa reformasi dianggap nihil. Hal itu, kata Bivitri, kacau lantaran menghapus sejarah di Indonesia.
Pada era Soeharto terjadi berbagai peristiwa yang termasuk pelanggaran HAM berat. Mulai dari peristiwa 1965, peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok, hingga penembakan misterius.
"Soal peristiwa-peristiwa itu belum bisa dibuktikan di pengadilan ada kaitannya dengan Soeharto, di momen ini kita bicara soal impunitas," katanya.
Namun, kata Bivitri, sejarah mencatat Soeharto sebagai salah satu pemimpin terburuk pasca-Perang Dunia II. Mantan pemimpin yang dijuluki serupa adalah Ferdinand Marcos.
2. Pola memaafkan pemimpin zalim dikhawatirkan juga berlaku untuk Jokowi
Kedua, yang dikhawatirkan yaitu pola memaafkan kesalahan pemimpin zalim bakal diberlakukan juga untuk Presiden Joko "Jokowi" Widodo usai lengser pada 20 Oktober. Rencana itu, kata dia, sudah terlihat dari sekarang.
"Betapa Jokowi datang ke pasar, sekolah-sekolah, lalu meminta maaf. Ibu Iriana juga meminta maaf. Dalam relasi antarmanusia, dalam agama manapun, saling memaafkan itu baik," katanya.
Namun, kata dia, dalam hal ini konteksnya adalah pemegang kekuasaan dengan warga biasa.
"Tak kurang banyak korban kebijakan yang seharusnya tetap mendapat hak-hak yang seharusnya mereka miliki. Supaya ke depannya tidak terjadi lagi, ketidakbijakan-ketidakadilan yang didapatkan warga," ucap dia.
3. Amnesty International Indonesia sebut keputusan pencabutan nama Soeharto dilakukan sepihak
Sementara, Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid menilai keputusan untuk menghapus nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dilakukan secara sepihak oleh 10 pimpinan MPR. Tidak ada aspirasi yang didengar dari individu yang terdampak dari kebijakan dan penyalahgunaan pada masa lalu.
"Setiap pembuatan undang-undang atau kebijakan harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Tidak ada organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan isu korupsi yang diundang untuk membahas perubahan TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998. Dengan kata lain, MPR mengambil kebijakan yang sepihak," ujar Usman kepada media pada Senin kemarin di Jakarta.
Bila keputusan itu diambil secara sepihak oleh 10 orang, tidak ada makna perwakilan rakyat seperti yang tertulis pada singkatan MPR.
"Majelis itu kan seharusnya membahas secara terhormat dan mendengarkan semua pihak," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, Fadel Muhammad membantah pengambilan keputusan untuk menghapus nama Soeharto di dalam TAP MPR lantaran ada tekanan dari keluarga Cendana. Menurutnya, itu semua didasari pada kesadaran 10 pimpinan MPR.
"Jadi, tidak ada tekanan sama sekali. 10 pimpinan MPR ini sadar harus berani mengambil langkah yang besar ini ke depan agar momentum pembangunan, apalagi presiden baru dengan spirit yang hebat, sehingga jangan lagi rakyat terkotak-kotak. Kita harus menyatu dan segera bangun bangsa ini," ujar Fadel.
Diketahui, mantan Presiden Soeharto merupakan mantan mertua dari Prabowo Subianto, presiden terpilih yang akan dilantik 20 Oktober mendatang.