Ilustrasi kampanye politik uang (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Lebih lanjut, Nazmi menjelaskan, politik uang disodorkan kepada seluruh kalangan pemilih. Temuan Populix membantah adanya anggapan politik uang hanya ditawarkan ke masyarakat kelas menengah ke bawah.
Politik uang sendiri merujuk kepada praktik pemberian atau janji menyuap agar mereka tidak memilih atau memilih sesuai arahan dari si pemberi suap. Aksi ini biasa dilakukan menjelang hari pemilihan, atau bahkan di pagi hari sebelum pemilihan yang biasa disebut serangan fajar.
"Survei Populix menyebut 50 persen responden mengaku pernah ditawari uang atau hadiah saat akan mencoblos. Berbeda dari asumsi bahwa politik uang cenderung terjadi di kalangan menengah ke bawah, 47 persen responden dari kalangan atas mengaku pernah ditawari suap," ucapnya.
Menurut hasil penelusuran Populix, tim sukses kampanye menjadi agen politik uang yang paling sering ditemukan di lapangan, disusul dengan pengurus partai politik. Tak hanya 'orang partai', teman atau tetangga sekitar juga ketua RT maupun RW juga ditunjuk sebagai perantara suap demi memuluskan kemenangan para bakal calon pemimpin daerah.
Meskipun gencar dilakukan, hanya 35 persen responden yang mewajarkan praktik politik uang. Selebihnya dengan tegas menolak praktik suap ini. Bahkan 77 persen dari orang yang menolak politik uang cenderung akan melaporkan pelanggaran ini kepada panitia pemilihan umum maupun pihak berwajib lainnya.
Untuk diketahui, pengumpulan data survei ini dilakukan pada 23 sampai 26 Mei 2024, dengan melibatkan 962 responden secara online dari seluruh wilayah Indonesia. Kriteria responden terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan beragam latar belakang pendidikan, mulai dari SMP hingga S2. Selain itu para responden juga mewakili tiga status sosial-ekonomi, mulai dari tingkat bawah (18 persen), menengah (43 persen), juga atas (38 persen).