Masyarakat yang tinggal di hutan Sintang, Kalimantan Barat (IDN Times/Sunariyah)
Tami kemudian menjelaskan kenapa dia tertarik dengan isu perhutanan sosial, sebuah isu yang notabene adalah isu sentral dalam perubahan iklim.
"Saya punya keluarga kan Dayak Ngaju ya. Dayak itu kan biasanya lekat sama hutan. Jadi, meskipun aku bukan dari petani atau apa, tapi aku punya keluarga yang mereka petani hutan. Lalu waktu kecil hidup dengan cerita-cerita dan dongeng dari nenek buyut dari mamaku, karena mamaku kan ibunya wafat waktu kecil, tentang hutan dan tentang bagaimana hubungan antara manusia Dayak dengan hutan," tutur dia.
Kenapa kemudian tertarik dengan perhutanan sosial? "Dulu sama teman-teman LSM ini kita melihat, walaupun tidak ada data yang jelas, tetapi paling tidak itu kalau misalnya ada data dari C4 dan segala macam yang masih kita pegang, sepertiga dari orang miskin di Indonesia itu tinggal di kawasan hutan negara. Kalau sekarang, irisan dari desa yang masuk kawasan hutan itu sekitar 35.000 desa," ujarnya.
Menurut Tami, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 50 persen desa ada di kawasan hutan.
"Nah, di situ tinggal orang yang seperti keluarga saya yang sudah turun temurun, atau ada banyak sekali komunitas yang memang sudah tahu bagaimana cara menjaga hutan, karena itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka," bebernya.
Namun sayangnya, kata Tami, kebijakan masa lalu hanya memperkaya orang-orang yang punya HPH dan HTI, bukan masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan. Kebijakan hanya memperkaya orang yang punya modal besar, punya kemampuan negosiasi, dan segala macam hingga mereka menguasai hutan.
"Nah, nanti kalau banjir yang kena pasti masyarakat di situ. Orang-orang yang tinggal di situ, sudah turun temurun maupun masyarakat lokal, saya tahu ada yang transmigran yang sudah dua atau tiga generasi, yang memang menggantungkan kehidupan dari kawasan hutan, itu kok mereka tidak terwadahi? Nah, kebijakan perhutanan sosial ini yang kemudian kita coba untuk advokasi," ujarnya.