Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sidang kasus korupsi pemberian fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO)
Sidang kasus korupsi pemberian fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO) (IDN Times/Aryodamar)

Intinya sih...

  • Tiga hakim yang menjatuhkan vonis lepas bagi terdakwa korupsi fasilitas ekspor CPO dihukum 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

  • Majelis hakim menilai ketiganya bertindak karena keserakahan, gagal menjaga komitmen pemerintahan bersih, dan mencoreng lembaga peradilan.

  • Para terdakwa juga dinilai telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dengan menerima suap senilai total Rp40 miliar.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Tiga majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas bagi tiga terdakwa korporasi dalam perkara korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada Januari–April 2022 menerima hukuman berat.

Mereka adalah Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Ketiganya dijatuhi vonis 11 tahun penjara serta denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini menandai salah satu babak kelam peradilan Indonesia, sekaligus titik penting menegaskan kembali integritas lembaga yudikatif.

Majelis hakim yang mengadili perkara tersebut menilai ketiganya bertindak karena keserakahan. Dalam sidang pembacaan putusan, hakim menegaskan bahwa motif para terdakwa tidak berkaitan dengan kebutuhan.

"Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi ini bukan karena kebutuhan atau corruption by need, tapi karena keserakahan atau corruption by greed," ujar Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Selain motif yang dianggap mempermalukan profesi, para hakim dinilai gagal menjaga komitmen pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka juga dianggap telah mencoreng lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan.

"Terdakwa adalah aparat penegak hukum, melakukan tindak pidana dalam jabatannya sebagai hakim tindak pidana korupsi saat mengadili perkara tindak pidana korupsi yang seharusnya memberikan keadilan, tetapi malah melakukan tindak pidana korupsi," ujar Hakim.

Meski begitu hakim juga mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan yakni para terdakwa telah mengembalikan sebagian suap yang diterima serta punya tanggungan keluarga.

Berikut rincian putusannya:

1.⁠ ⁠Djuyamto dihukum 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 9,2 miliar subsider 4 tahun;

2.⁠ ⁠Agam Syarief dihukum 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 6,4 miliar subsider 4 tahun penjara;

3.⁠ ⁠Ali Muhtarom dihukum 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 6,4 miliar subsider 4 tahun penjara.

Sebelumnya, ketiga hakim dan Panitera itu dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp500 juga subsider enam bulan kurungan.

Berikut rincian tuntutannya:

1.⁠ ⁠Djuyamto dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun;

2.⁠ ⁠Agam Syarief dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara;

3.⁠ ⁠Ali Muhtarom dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.

Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan tuntutan tersebut, yakni para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Para terdakwa juga dinilai telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Hasil suap yang diterima juga telah dinikmati oleh para terdakwa.

Sementara untuk hal yang meringankan, jaksa menilai para terdakwa kooperatif dan mengakui perbuatannya. Para terdakwa juga belum pernah dihukum.

Diketahui, Djuyamto dkk didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp40 miliar terkait vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.

Uang itu diduga diterima dari advokat Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafe'i. Uang itu diduga diberikan para advokat yang mewakili Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group untuk mempengaruhi putusan perkara kliennya.

Editorial Team