Teror Bom di Negeri Nan Santun

Jakarta, IDN Times - Pagi itu, Minggu 13 Mei, aktifitas di Gereja Santa Maria Tak Bercela tidak ada yang beda. Semua aktifitas di gereja yang berlokasi di Jalan Ngangel, Surabaya, itu berjalan seperti biasanya.
Sang ibunda menurunkan Evan dan adiknya, Nathanael, dari kendaraanya di depan gereja. Sedangkan, orangtua kedua bocah itu memarkirkan kendaraannya di area parkir.
Namun sekitar pukul 07.00 WIB, suasana di gereja katolik itu berubah mencekam. Suara ledakan keras tiba-tiba menguncang tempat ibadah itu. Kedua bocah tak berdosa itu pun terkapar.
Bocah bernama lengkap Vincecius Evan itu meninggal dunia, setelah dilarikan ke Rumah Sakit Bedah Surabaya, di Jalan Raya Manyar. Dia sempat ditangani dokter, namun nyawanya tak tertolong lagi. Jenazah Evan kemudian diautopsi di RS Bhayangkara Jawa Timur. Kondisi tubuhnya hancur.
"Ada luka bakar, luka patah, dan luka lainnya," ujar Direktur RS Bedah Surabaya, dr Priyanto Swasno, Minggu 13 Mei lalu.
Sementara adik Evan, Nathanael, juga menjalani perawatan RS Bedah Surabaya. Kondisinya kritis dan memprihatinkan. Dokter berusaha mengoperasinya, tapi luka bakar yang dialami bocah delapan tahun itu terlalu parah. Minggu malam, Nathan pun menyusul sang kakak di pangkuan Sang Pencipta.
Evan dan Nathan adalah dua dari 20 korban jiwa lebih akibat teror bom di tiga gereja dan rusunawa Sioarjo, serta Polrestabes Surabaya, Jawa Timur. Selain puluhan korban jiwa, ledakan bom di Jatim juga mengakibatkan lebih dari 50 orang luka-luka.
Teror bom di Jawa Timur terjadi di beberapa titik, antara lain di Gereja Santa Maria Tanpa Cela, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Gereja Kristen Indonesia, Mapolrestabes Surabaya, dan rusunawa di Sidoarjo.
Ledakan bom bunuh diri di tiga gereja terjadi beriringan mulai Minggu (13/5) pukul 06.30 hingga 07.50 WIB. Malam harinya, ledakan terjadi di rusunawa Sidoarjo. Sedangkan ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya terjadi pada Senin pagi (14/5).
1. Fenomena bomber keluarga
Hasil penyelidikan kepolisian menyebutkan, pelaku teror Jatim melibatkan tiga anggota keluarga dan merupakan bom bunuh diri. Ledakan bom di tiga gereja dilakukan Dita Oeprianto yang melibatkan istri dan keempat anaknya.
Ledakan bom di rusunawa Sidoarjo diduga akibat ketidaksengajaan Anton hingga menewaskan istri dan satu anaknya. Dua anaknya berhasil diselamatkan. Begitu juga, ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya, juga melibatkan suami istri dan tiga anaknya.
Polisi menyebutkan para pelaku teror di Jatim merupakan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok pendukung organisasi radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dita yang merupakan pimpinan JAD Surabaya merupakan teman dekat Anton.
Pengamat terorisme Harits Abu Ulya berpendapat munculnya fenomena bomber keluarga bukan karena faktor kemiskinan. Karena hasil penyelidikan polisi, pelaku teror bom Surabaya di tiga gereja tinggal di rumah senilai lebih dari Rp 1 miliar.
"Apakah faktor kemiskinan membuat mereka manjadi bomber maut? Dari indikasi rumah hunian mereka bukan orang miskin, namun sangat cukup.
Analisa saya energi paling besar adalah soal teologi beku yang suami istri adopsi, kemudian diintrodusir juga kepada putra putrinya dengan waktu yang cukup," kata Harits kepada IDN Times, Senin (14/5).
Fenomena bomber keluarga di Jatim juga bagian dari reaksi kelompok JAD atas kericuhan di Mako Brimob. Perlakuan pada napi teroris yang mendekam di rutan cabang Salemba itu, menurut kelompok radikal dianggap menzalimi mereka.
"Atau ketika ekspresi keyakinannya menemukan jalan buntu atau terantuk oleh langkah-langkah aparat keamanan, maka faktor-faktor di atas menstimulasi rasa dendam, kenekatan dan keputusasaan mereka. Artikulasi puncaknya memilih sebagai bomber maut," kata Haritz.
Haritz juga meyakini, bomber keluarga di Jatim terkait kelompok ISIS. Karena pasca-serangan tidak berselang, ISIS mengklaim bertanggung jawab. Para pelaku teror diklaim sebagai junud atau tentara mereka. Klaim seperti ini bisa dimaklumi, karena ISIS dalam kondisi melemah, mereka butuh menunjukkan eksistensinya.
"Mereka butuh membangkitkan moral semua elemen yang menjadi bagiannya, dengan narasi keberhasilan serangan-serangan sporadis dan terencana, dan dilakukan di banyak negara di luar Suriah-Iraq, termasuk Indonesia. Jadi dendam dan membangun citra kelompok yang lagi lemah dengan aksi-aksi teror, menjadi pusaran dari fenomena kekerasan saat ini dan kemungkinan di waktu-waktu mendatang," kata dia.
Namun, dari insiden bom bunuh diri ini, Harits menyisakan pertanyaan menggelitik soal bom, mengingat daya ledak dan dampaknya cukup kuat. Siapakah yang merakit? Siapakah yang mengajari? Bagaimana didapatkan material bomnya, bagaimana buku panduan itu didapat di luar sumber open sourch?
"Kemudian siapa dan bagaimana Dita sekeluarga diintrodusir hingga siap menjadi 'pengantin'? Mengingat serangan ini dilakukan terorganisir dan melibatkan banyak orang, siapakah master mind-nya? Publik menunggu jawaban dari pemerintah dengan terang benderang," kata dia.