Tiga Tahun UU TPKS, ILRC Soroti Kasus Femisida Seksual Anak

Intinya sih...
- UU TPKS berusia tiga tahun pada 9 Mei 2025, namun belum optimal dalam kasus femisida seksual.
- ILRC mencatat 18 kasus femisida seksual dengan mayoritas korban berusia 0-18 tahun dan pelaku berusia 18-35 tahun.
- Femisida seksual terjadi di ruang publik (67%) dan privasi (33%), serta kekerasan seksual merupakan elemen utama dalam femisida.
Jakarta, IDN Times - Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) resmi berusia tiga tahun pada 9 Mei 2025, usai diundangkan pada 2022.
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) menyoroti penerapan UU TPKS pada konteks femisida.
Peneliti sekaligus Direktur ILRC Siti Aminah Tardi mengungkapkan, dari hasil monitoring berita daring sejak Januari hingga Desember 2024, ada 18 kasus femisda seksual yang menimpa perempuan.
Femisida secara sederhana adalah pembunuhan yang disengaja dengan motivasi terkait gender.
Sebanyak 67 persen kasus terjadi di ruang publik seperti kebun, hutan, semak, dan area terbuka lainnya, 33 persen sisanya terjadi di ruang privat seperti rumah korban atau pelaku. Hal ini menunjukkan ruang publik masih belum aman.
Korban termuda berusia tujuh tahun dan tertua 34 tahun, dengan mayoritas korban berusia 0-18 tahun dan 18-35 tahun. Pola usia pelaku juga serupa dengan mayoritas berusia 18-35 tahun.
Dia menjelaskan, soal kasus femisida seksual kelompok dilakukan anak terhadap anak pada rentang usia 12-16 tahun, didorong fantasi akibat paparan pornografi.
"Hal ini memerlukan perhatiaan kita agar anak-anak tidak mengakses pornografi dan menolak ajakan teman sebaya untuk melakukan kekerasan seksual,” kata Ami, sapaan karibnya, Sabtu (10/5/2025).
1. Relasi intim dominasi kasus femisida
Amik yang tengah mendalami isu femisida dalam berbagai konteks mengungkapkan, hasil pemantauan menunjukkan relasi antara korban dan pelaku paling banyak berasal dari teman (38 persen) dan pacar (29 persen).
Jika digabungkan, keduanya termasuk dalam kategori femisida relasi intim dengan persentase mencapai 67 persen, khususnya bila disertai kekerasan seksual.
Sementara itu, kejadian yang muncul dari anggota keluarga dan tetangga masing-masing menyumbang 8 persen, serta kategori lain-lain sebesar 13 persen.
Terkait metode pembunuhan, femisida seksual kerap menunjukkan unsur sadistis. Cara yang digunakan meliputi kekuatan fisik (39 persen), senjata tajam (17 persen), benda sekitar (11 persen), gabungan kekuatan fisik dan benda (28 persen), serta kombinasi fisik dan senjata tajam (5 persen).
Bentuk kekerasan fisik meliputi tindakan seperti dicekik, diinjak, dibenturkan, dan diikat, sementara benda yang digunakan antara lain tali, bambu, kayu, sapu, meja, dan helm. Kekerasan seksual seperti pemerkosaan juga menjadi elemen utama dalam femisida seksual.
2. Kekerasan seksual terjadi sebelum hingga usai kematian
Ami menjelaskan, kekerasan seksual berdasarkan pengakuan pelaku diidentifikasikan terjadi sebelum, sepanjang kematian, dan setelah kematian yang masing-masing terdapat lima kasus (28 persen).
Selain itu, terdapat masing-masing satu kasus di mana korban mengalami kekerasan seksual sebelum dan setelah kematian (lima persen), serta sepanjang dan setelah kematian (lima persen), atau korban mengalami lebih dari satu perkosaan.
Kekerasan seksual yang terjadi sebelum kematian umumnya dilakukan untuk menghilangkan jejak kekerasan seksual yang dilakukan. Sementara sepanjang kematian, korban mengalami kekerasan fisik terlebih dahulu sampai tidak sadarkan diri, lalu dilakukan perkosaan. Kekerasan seksual juga dilakukan ketika korban ,diketahui sudah tidak bernapas atau diduga sudah meninggal.
“Terdapat kasus dimana korban gang rape, setelah tewas, pelaku memasukkan kayu ke dalam vagina korban, yang menunjukkan tubuh perempuan sebagai obyek penundukan dan penganiayaan”, ujar Aminah menjelaskan elemen kekerasan seksual dalam femisida terhadap perempuan.
3. UU TPKS belum digunakan optimal, khususnya pada femisida seksual
Badan Pengurus ILRC, Renata Arianingtias menjelaskan kehadiran UU TPKS belum digunakan secara optimal, khususnya pada femisida seksual yang menimpa anak yang umumnya tidak dikaitkan dengan UU TPKS. Salah satu terobosan hukum UU TPKS adalah dijaminnya hak korban, hak keluarga korban dan hak anak atau tangungan dari korban.
Dengan dihubungkan tindak pidana pembunuhan dalam KUHP, UU Perlindungan Anak dengan UU TPKS, berarti korban dan keluarga korban dijamin dan dilindungi hak-haknya berdasarkan UU TPKS.
"Hasil monitoring ini sekaligus mengingatkan agar peraturan pelaksana UU TPKS khususnya PP Pencegahan, Pelindungan, Penanganan dan Pemulihan (4P) dan RPP Dana Bantuan Korban (DBK) untuk segera disahkan, dan diintegrasikannya UU TPKS dalam tindak pidana lain yang didalamnya terdapat kekerasan seksual. Sekali lagi agar negara hadir untuk korban,keluarga korban kekerasan seksual, termasuk femisida seksual," kata dia