Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Istimewa

Jakarta, IDN Times –  Sejak kematian transgender wanita bernama Rita Hester pada 1999, Dunia memperingati International Transgender Day of Remembrance (TDoR) setiap tanggal  20 November. TDoR diciptakan untuk memperingati mereka yang dibunuh karena transphobia.

IDN Times menghubungi salah satu teman transgender bernama Kanzha Vina (25). Banyak hal yang dia ceritakan, mulai dari kisahnya sebagai seorang warga negara, penolakan yang kerap dialami, hingga harapnya akan adanya toleransi di Indonesia.

Berikut ini cerita Kanzha.

1. Sosok yang feminim sejak kecil

Istimewa

Aku tumbuh dan berkembang biasa saja. Sama seperti anak-anak seusiaku lainnya. Hanya saja, sejak kelas 5 atau 6 SD, semakin ku sadari bahwa sisi feminimku lebih tinggi. Lalu, entah mengapa orang-orang dengan tega memberi label bencong atau banci pada diriku.

Aku merasa biasa saja. Mereka yang justru melabeli. Terasa sejak dulu. Sekarang? Masih sama saja. Tapi sudahlah, aku tak mau ambil pusing juga. Ku anggap sudah berlalu. Selama tidak merugikan dan membuat ku malu, kerap aku tidak melawan dan memilih diam saja.

2. Sudah diterima keluarga sejak tiga tahun lalu

Editorial Team

Tonton lebih seru di