ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga
Ditanya soal penolakan, sudah banyak bentuk penolakan yang aku alami. Banyak sekali. Aku bahkan beberapa tahun belakangan memilih tidak sering menggunakan fasilitas publik. Aku juga takut bertemu dengan mereka yang transphobia.
Pernah sekali, dari rumah menuju ke tempat bekerja aku menggunakan Transjakarta. Lalu ada tulisan cukup besar di dalamnya. “Bencong dilarang di tempat perempuan”. Aku tahu tulisan itu bukan buatan pihak Transjakarta. Tapi artinya, ada penolakan di sana. Bukan dari penyedia jasa layanan, tapi dari masyarakat lainnya.
Ya, penolakan semacam itu banyak sudah ku lalui.
Sebagai manusia biasa, aku juga takut mendapatkan penolakan-penolakan itu. Jadi aku memilih membatasi diriku menggunakan fasilitas publik. Pun kalau sangat terpaksa, ketika tengah menggunakan fasilitas publik, aku memilih diam saja. Tidak menjadi diriku sendiri. Sehingga tidak ada yang tahu bahwa aku berbeda.
Bukan hanya penolakan atau diskriminasi secara tertulis saja yang aku alami. Misal ketika di tempat makan, orang melihatku, lalu mulai tertawa sendiri. Berbisik pada teman di sebelahnya.
Atau ketika di bandara, taksi-taksi bandara yang tiba-tiba tertawa ketika melihat keberadaanku diantara mereka. Aku let it go saja, selama tidak membuatku malu dan merugikan, aku tidak melawan. Aku tak mau berdebat yang tak ada gunanya