Ilustrasi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) (IDN Times/Rangga Erfizal)
TTI mengungkap, adanya celah gratifikasi dalam pengelolaan biaya per porsi. Kontribusi seperti biaya sewa Rp2 ribu per porsi dilebur ke dalam total biaya Rp15 ribu.
“Dalam kontrak, BGN bayar Rp15 ribu tapi sampai ke bawah (pelaksana) hanya Rp8 ribu,” ujarnya.
Menurutnya, ini pola yang menguntungkan pengurus yayasan dan para pemodal. Uang rakyat semestinya dialokasikan untuk gizi justru mengalir sebagai kompensasi bisnis.
“Banyak pemodal menanamkan saham di berbagai Yayasan sebagai bentuk investasi. Padahal, UU Yayasan secara tegas melarang praktik pembagian keuntungan. Fakta ini menandai terjadinya penyimpangan regulasi,” ujarnya.
Menurut TTI, penyimpangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan berpotensi menjadi korupsi berjamaah. APBN yang seharusnya untuk pembangunan fisik melalui tender terbuka malah dialihkan ke kontrak yayasan.
“Ini membuka ruang markup biaya, persekongkolan, dan tentu saja melanggar prinsip transparansi,” ungkap Nasruddin.
Kegagalan menyerap anggaran pembangunan fisik juga menunjukkan lemahnya pengendalian pemerintah pusat terhadap regulasi pelaksanaan program.
“Di sinilah letak kesalahan regulasi program kerja Presiden Prabowo. Landasan hukum tidak tegas membatasi peran yayasan sehingga investor bisa masuk dan memanfaatkan celah,” katanya.
Pada akhirnya, masyarakat penerima manfaat hanya dijadikan tameng legitimasi. Mereka ditampilkan seolah-olah mendapat keuntungan, padahal uang besar justru mengalir ke konglomerasi yayasan.
“Program yang semestinya memperkuat ketahanan gizi dan ekonomi rakyat, berubah menjadi ladang bisnis,” kata dia.