TNI menjaga ketat Gedung DPR RI. (IDN Times/Amir Faisol)
Selain itu, pemohon juga menyoroti adanya perbedaan mencolok antara sistem pensiun anggota DPR RI dengan lembaga negara lain. Sebagai perbandingan, masa kerja yang menjadi dasar pensiun untuk Hakim Mahkamah Agung (MA), Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri umumnya berkisar 10 sampai 35 tahun, sementara anggota DPR hanya satu sampai lima tahun.
Dalam permohonannya, pemohon juga menyinggung praktik serupa di berbagai negara. Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen bergantung pada masa jabatan, usia, dan kontribusi, bukan otomatis diberikan seumur hidup. Sementara, di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi diberlakukan bagi anggota parlemen yang terpilih setelah 2004. Namun di India, sistem pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen tetap berlaku dan telah lama dikritik publik, karena membebani keuangan negara—situasi yang menurut pemohon mirip dengan Indonesia.
Selain persoalan hukum dan keuangan, pemohon juga menyinggung aspek moralitas dan kinerja DPR yang dianggap belum sepadan dengan fasilitas dan tunjangan besar yang diterima. Dalam dalilnya, pemohon mengutip kritik publik terhadap anggota DPR yang dinilai kerap absen dalam sidang paripurna, bermain gawai atau tidur saat rapat berlangsung.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Namun, menurut pemohon, ketentuan ini tetap tidak adil, mengingat pemberian pensiun seumur hidup bagi jabatan politik berjangka pendek tidak selaras dengan prinsip keuangan negara yang efisien.
Melalui permohonan ini, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun, Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, memberikan saran perbaikan. Ketua MK Suhartoyo mengatakan pemohon harus mengelaborasi alasan permohonan.
“Apakah hanya karena alasan banyak artis, konstribusinya kurang atau yang menjabat satu periode haknya sama dengan yang senior mungkin, yang kemudian sudah menjabat beberapa episode dan konstribusinya banyak, kemudian disamanatakan, dan ini yang harus diberikan argumentasikan,” saran hakim konstitusi.
Sementara, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar para pemohon memperkuat kedudukan hukum (legal standing). “Ini Ibu Lita sebagai psikolog yang kemudian ini ikut berbicara soal pensiun anggota DPR. Nanti ditampung dulu, nanti dicatat, ada risalah, nanti diperbaiki,” saran Guntur.
Kemudian, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebut UU Nomor 12 Tahun 1980 masih mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA), karena UU a quo dibuat sebelum perubahan UUD 1945.
“Padahal sekarang existing-nya sudah gak ada. Saya kira ini jadi perhatian DPR nanti,” ujarnya.
Terkait pokok permohonan, Daniel menyarankan untuk memperbaiki permohonan untuk mencermati Putusan MK Nomor 41/PUU-XI/ 2013.
“Harusnya bisa searching di putusan-putusan MK, apakah norma ini pernah diajukan. Karena norma ini pernah diajukan, maka harus dipastikan supaya memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7 Tahun 2025, supaya tidak nebis in idem,” ujar Daniel.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon, untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Kamis, 23 Oktober 2025.