UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?

Jakarta, IDN Times - Sejak disahkan pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 21 April 2008 lalu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016, menjadi senjata utama untuk memidanakan seseorang.
Terbukti, hanya empat bulan setelah disahkan, UU ITE yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum itu, digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari.
Pada Agustus 2008, Prita dituduh mencemarkan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional dan disangkakan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310-311 KUHP, setelah mengeluhkan pelayanan RS tersebut melalui tulisan yang ia kirim lewat email kepada temannya.
Email itu beredar cepat di dunia maya dan membuat Prita dilaporkan ke polisi. Menggunakan UU ITE itu, Prita ditahan dan dinyatakan bersalah. Pada 17 September 2012, Prita kemudian resmi dibebaskan.
Tidak hanya masyarakat biasa, UU ITE juga menjerat beberapa publik figur. Pada 5 November 2015, artis stand up comedy (komika) Muhakdly MT alias Acho juga dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Acho dilaporkan oleh pengembang Apartemen Green Pramuka karena mengeluhkan fasilitas apartemen di blog pribadinya. Belakangan, kasus itu diselesaikan secara damai oleh kedua pihak.
Yang terbaru, tiga selebritas Tanah Air harus berurusan dengan polisi akibat terjerat kasus asusila dan melanggar UU ITE, karena konten yang mereka sebarkan melalui media sosial YouTube. Mereka adalah Galih Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami.
Ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya selama 20 hari. Mereka digelandang masuk bui karena terjerat Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, juncto Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Kemudian, Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman di atas enam tahun penjara.
Melihat peristiwa demi peristiwa di atas, apa sebenarnya yang membuat banyak orang bisa terjerat kasus ITE ?
1. Masyarakat sudah tahu UU ITE, tapi tidak bisa menerjemahkan secara benar
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengatakan, masyarakat sebetulnya sudah mengetahui apa itu UU ITE dan aturan di dalamnya. Tapi dalam praktiknya, masyarakat tidak bisa secara benar menerjemahkan UU tersebut.
"Karena, masyarakat kita kan memang masyarakat yang masih belum bisa membedakan mana yang menjadi ruang privat, jadi ruang publik, dan mereka menganggap internet itu menjadi bagian dari ruang privat," kata Heru kepada IDN Times di Jakarta, Senin (15/7) lalu.
Ia pun mencontohkan kasus yang pernah menjerat Florence Sihombing. Kasus Florence bermula pada Agustus 2014, ketika dia menolak untuk mengantre di sebuah SPBU. Florence yang kala itu masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta, menulis makian kepada warga Yogyakarta dalam akun media sosial Path miliknya.
Makian di Path itu ternyata berbuntut panjang. Sejumlah aktivis melaporkan Florence dengan UU ITE pada 28 Agustus 2014. Florence diadili dan didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 UU ITE.
"Jadi dia (Florence) tidak berpikir, orang akan membacanya sambil dia kemudian menulis umpatan pom bensin. Itu dalam waktu cepat menyeruak. Tidak hanya teman-temannya yang ada di kelompok, tapi juga se-Yogyakarta, se-Indonesia. Kan ramai itu," ungkap Heru.