IDN Times/Margith Juita Damanik
Jadi setelah kami terima aduan, kami mulai merunut lagi kronologi. Mereka korban dan terduga pelaku yang juga suami sudah cerai, meski demikian mereka sharing pengasuhan pada 3 anaknya yakni perempuan (7 tahun), adiknya laki-laki (5 tahun) dan perempuan (3 tahun). Sekitar 3 Oktober 2019, anak perempuan yang paling besar terlihat pucat. Melihat itu sang ibu bertanya, meski awal takut tapi anak menceritakan dia mendapatkan dipenetrasi oleh ayahnya. Mengejutkannya lagi, cerita yang sama diungkapkan dua adiknya.
Kemudian ibu korban melaporkan ke Polres Luwu Timur, kemudian divisum di puskemas, nah kalau ini visumnya kita sedang cari juga ya, jadi ada tiga visum tetapi visum itu hanya bisa dibacakan oleh dokter. Jadi berdasarkan hasil visum ditemukan peradangan di sekitar vagina dan anus, namun hasil visum ini tidak dijadikan alat bukti dalam proses penyelidikan.
Dokter yang merawat pun mengatakan, saat itu dia tidak dimintai penyidik terkait hasil visum tiga korban, termasuk obat-obatan serta foto-foto luka yang dialami anak. Sang ibu sempat memfoto kondisi anaknya saat itu, tetapi foto tersebut tidak masuk dalam barang bukti. Tidak hanya itu, pakaian dan celana dalam tidak masuk dalam barang bukti. Kemudian saat dilakukan visum berikutnya tidak terlihat luka, ya jelas karena sudah diobati lukanya.
Tapi kondisi ini bagi ibu korban tidak imbang, bisa bayangkan kalutnya sang ibu, ini ada korban lho anak saya, dokter juga sudah menyatakan ada peradangan di sekitar vagina dan anus, tapi polisi menyatakan ini tidak cukup bukti.
Jika saja penyidik lebih gigih, maka akan menggali informasi sekecil apa pun, misalnya tanya tetangga, bibinya melihat ayahnya gak bawa anak-anak. Jadi saya lihat penyelidikan juga kurang optimal, jika berpihak pada korban maka informasi sekecil apa pun digali.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemeriksaan kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual, di antaranya anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial.
Dalam kasus ini, saat pemeriksaan anak-anak tidak didampingi oleh ibunya atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh anak korban. Namun yang harus dipahami bahwa mereka anak di bawah 10 tahun yang belum mengetahui dan memahami konteks seksualitas.
Ingat kebanyakan kasus kekerasan dan pelecehan dalam keluarga karena adanya manipulasi kasih sayang yang membingungkan anak. Saat proses penggalian informasi di Luwu, diduga relasi sesama ASN maka saat di kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur mempertemukan korban atau anak dengan pelaku atau ayah kandungnya untuk mengetahui anak trauma atau tidak.
Anak memeluk ayah dan mau dipangku ayahnya saat dipertemukan bukan menjadi indikator apakah anak ini trauma. Ini harus dicek ulang, hasil pemeriksaan psikologis, mereka konsisten menceritakan peristiwa yang menimpa mereka, tidak hanya dilakukan oleh ayah tetapi juga dua orang lain.
Di sisi lain, hasil Visum et Repertum (VeR) tidak menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP). Padahal, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan. Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya.
Bila terlambat beberapa hari atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan. Pada VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.
Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian, hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya.
Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan.