[WANSUS] Kasus Perkosaan di Luwu, Komnas Perempuan: Berat Jadi Korban

Jakarta, IDN Times - Sebuah laporan yang ditulis Project Tim Multatuli berjudul "Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan" seolah jadi sentilan kinerja kepolisian.
Kasus kekerasan seksual dan pelecehan pada perempuan dan anak bak gunung es. Kurangnya bukti jadi sandungan korban mendapat keadilan. Kondisi ini yang membuat Lydia (bukan nama sebenarnya) tidak bisa menyeret pelaku ke dalam jeruji besi, saat melaporkan pemerkosaan yang diduga dialami ketiga anaknya, yang semuanya masih di bawah 10 tahun.
Pelaku diduga adalah mantan suaminya, ayah kandung ketiga anak itu, yang disebut merupakan seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah.
Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan pada 2019.
Setelah berita tersebut viral, kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian luntur, tagar #percumalaporpolisi langsung trending di media sosial.
Komnas Perempuan menilai penyelidikan yang dilakukan Polres Luwu Timur tidak optimal. Komnas perempuan terus mendesak agar kasus dugaan pemerkosaan dan pelecehan seksual pada 3 anak di Luwu, Sulawesi Selatan, yang dihentikan penyelidikannya dibuka kembali. Atas desakan publik, Kepolisian membuka lagi laporan model A.
Lalu kejanggalan apa saja yang ditemukan dalam proses penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan yang diduga dilakukan seorang ayah kandung kepada 3 anaknya yang masih di bawah umur? Berikut hasil wawancara IDN Times dengan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, pada Rabu (21/10/2021).
1. Pada 13 Juli 2020, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak, selaku kuasa hukum ibu dari korban, bukti apa saja yang disampaikan korban saat itu?
Jadi kami, Komnas Perempuan menerima laporan pengaduan pada Juli 2020 saat kasus ini sudah dihentikan dengan dikeluarkannya Surat Penetapan Penghentian penyidikan (SP3). Kami mulai mengkroscek kembali ke teman-teman di Makassar. Kami menemukan kejanggalan dalam sistem pembuktian antara lain dokter yang merawat tiga anak korban tidak diminta keterangan sebagai ahli. Padahal saat itu dokter menemukan ada peradangan di vagina dan anus meski hymen masih utuh tetapi bukan kita bicara kekerasan.
Kami menerima salinan dokumen dan visum. Tetapi ini rahasia ya meskipun ini jadi hambatan akses informasi publik, tapi bagaimanapun mereka korban, meski kabar ini jadi perdebatan hoaks dan tidak hoaks, bahkan pers diadu. Kami tegaskan ini benar lho, jadi apa yang disampaikan korban kami percaya karena itu prinsip kami, sehingga kami lakukan penyisiran.