Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Siti Ruhaini Dzuhayatin saat ditemui di acara Institut Leimena, Jakarta Pusat (10/6/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Menurut saya beragama itu memang harus santai gitu ya. Apa yang dilakukan anak-anak muda, saya sangat apresiatif ya. Bahwa mereka bisa berkomunikasi, mereka bisa membuat dialog interaksi antaragama itu menjadi lebih ringan. Menurut saya sih itu sesuatu yang positif dan gen z kita itu kan memang seperti itu dan tokoh-tokoh agama itu mestinya harus juga memasuki dunia itu. Karena kadang-kadang organisasi besar terlalu sibuk ngurusin ke dalam. Itu nanti teman-teman muda ini maka diurusin oleh orang lain, yang orang lain ini belum tentu mereka mempunyai komitmen kuat terhadap kebangsaan ini.
Kalau Indonesia itu kan kebangsaan itu dilahirkan dari keagamaan. Dan keagamaan itu mengkontribusi kepada kebangsaan. Tapi kan ada banyak tokoh-tokoh atau agama-agama lain itu yang dari luar, sehingga tidak mengakar. Oleh sebab itu, kita selalu mendorong dan terus berkomunikasi dengan organisasi-organisasi keagamaan yang established ini untuk juga memasuki itu. Teman-teman ini perlu didampingi. Bagaimana beragama yang santai, tapi kena gitu loh.
Kan sebetulnya justru yang dilakukan LKLB ini kan sebetulnya sangat sederhana loh. Misalnya di dalam workshop kita itu enggak perlu kita yang berat-berat atau bagaimana. Misalnya, satu kamar itu mesti beda agama. Kita boleh nggak tuker, nggak boleh sesama agama. Itu kan sesuatu yang sederhana ya dan itu akan sangat mengesankan. Kami juga sekarang, Leimena juga punya kegiatan dengan UGM dan UIN ya, Jogja itu.
Misalnya komunitas tempat, kita membuat aja komunitas satu kecamatan itu, mereka pernah lihat gereja, lihat masjid, tapi kan mereka tidak tahu siapa yang ada di situ. Nah kita dekatkan, jadi ketika mereka itu melihat masjid 'oh saya tahu itu si pak a dan b di situ', sehingga ada rasa aman dan nyaman bisa berinteraksi. Itu harus kita renda, itu yang kita lupakan bahwa pertemuan, perjumpaan sederhana yang sifatnya sangat ringan itu sebetulnya mengokohkan tali-tali keagamaan ini. Itu lah yang sering kita lupakan, karena yang terjadi adalah formalisasi tadi itu. Fatwa yang ini yang ini, biarlah orang berfatwa tapi kita di tempat lain harus terus menguatkan hal-hal yang sifatnya sangat Sipil, ringan.
Itu saya sambut baik selama memang kita juga harus memberikan batasan-batasan terkait rule of law. Kita punya rule of law yang itu juga konsensus bersama sehingga apapun ekspresi-ekspresi keagamaan itu harus juga mempertimbangkan keberadaan dan juga rispect kepada perbedaan. Satu hal yang menarik dari LKLB, kita boleh menanyakan 'mengapa' karena yang dulu kan jangan tanyain itu dong terlalu sensitif. Tanyain saja, kenapa sih misal orang Islam kok solat nyembah Kakbah gitu, karena kita kan tidak tahu, ya tanyakan saja. Atau yang Islam itu bertanya, kenapa orang Kristen nyembahnya patung, ya tanyakan saja.
Tetapi ketika yang punya agama itu mengatakan tidak tahu, ya pokoknya kita diajarkan kalau sujud menghadap sana, kita tak bisa memaksakan itu, karena yang punya agama saja tidak bisa menjawab apalagi yang bukan, sehingga yang bisa kita lakukan adalah kita memahami dan menghormati.
Dan itu jumlahnya sedikit, perbedaannya itu, yang persamaan itu lebih banyak. Kenapa kita tidak bekerja sama pada kesamaan-kesamaan itu dan kita menghormati perbedaan, sehingga LKLB yang terakhir itu kolaborasi. Itu justru menyelesaikan persoalan-persoalan yang justru langsung dihadapi oleh masyarakat, komunitas.