(IDN Times/Kevin Handoko)
Kayaknya bisa dibilang reset, bisa dibilang mengakselerasi suatu hal yang sudah seharusnya kita lakukan, ya. Ada dua hal.
Jadinya hal-hal yang secara makro, the great reset ini, yang satu adalah kita pertama kalinya menyadari betapa banyaknya aktivitas pemerintahan yang sebenarnya bisa dilakukan melalui online.
Ini merupakan suatu kejutan bagi semua orang. Dan ini bukan cuman pemerintah ya, pihak swasta juga sama. Kita menyadari bahwa ya, mungkin tidak semuanya optimal dan ideal. Tapi jumlah penghematan dan efisiensi yang terjadi.
Gak kena macet. Waktu ketemu chit-chat nya sudah gak sebanyak yang sebelumnya kan? Ya, kan? Gak selalu terpotong-potong waktu makan dan lain-lain. Jadi menurut saya ada berbagai realisasi di birokrasi pemerintahan mau pun di swasta bahwa cara kita bekerja ini gak akan sama lagi.
Pak Presiden sudah menyebut itu beberapa kali lagi. Pak Presiden tidak ingin menginginkan kita kembali lagi kepada begitu banyak anggaran yang dikeluarkan untuk dinas. Begitu banyak yang anggaran yang dikeluarkan untuk meeting-meeting di berbagai macam tempat yang sebenarnya bisa digunakan langsung untuk rakyat, untuk program-program pemerintah.
Jadi itu satu hal yang menurut saya, Kemdikbud berkomitmen untuk melanjutkan arahan Presiden itu. Jadi cara paling tidak untuk Kementerian kami di Kemdikbud tidak akan kembali ke pola yang lama. Itu sudah pasti.
Kita pasti akan mencari cara bagaimana menggunakan teknologi untuk menurunkan biaya operasional sehingga anggaran itu bisa kita gunakan untuk sekolah-sekolah, untuk pendidikan dan untuk perbaikan mutu dari pendidikan. Bukan hanya untuk pekerjaan kami.
Nah itu mungkin satu hal yang merupakan great reset, ya. Cara kita bekerja.
Yang kedua adalah dampak pandemik kepada pembelajaran ini negatif ya. Ini harus diperjelas. Angka PISA kita pasti akan kena untuk yang berikutnya dan lain-lain. Itu sudah keniscayaan. Itu sudah harus kita hadapi secara jujur dan secara realistis. Kita gak boleh naif.
Bahwa pada saat kita melakukan pembelajaran dalam krisis pandemik ini, kita berpikir mutu pembelajaran itu meningkat. Gak, itu salah. Di dunia, semuanya turun. Itu sudah pasti. Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita turun? Bagaimana kita mengejar ketertinggalan itu nanti?
Tapi ada beberapa hal yang mungkin bisa mendapatkan keuntungan bagi kita di jangka yang lebih medium ke panjang.
Satu hal yang sangat menarik sekarang adalah belum pernah di sejarah Indonesia jumlah guru dan murid, kalau murid sih sudah biasa ya sama teknologi, jadi guru dan orangtua mencoba berbagai macam platform-platform teknologi sebanyak di masa pandemik.
Jadi adopsi dan familiaritas terhadap teknologi di Indonesia, di dunia pendidikan dan di sektor-sektor lain, itu belum pernah terjadi seperti ini. Kita gak tahu nih dampaknya apa.
Tapi yang sudah jelas ketakutan kepada teknologi, ketidaknyamanan itu semakin menurun secara signifikan. Itu yang harus dipahami dan itu bisa menjadi satu kesempatan emas bagi kita.
Tapi di satu sisi lain, yaitu great reset, telah kita sadari adalah limit dari pada teknologi di dunia pendidikan. Tidak semuanya bisa dengan teknologi. Dan itu merupakan suatu pembelajaran yang sangat penting. Bahwa kita menyadari bahwa interaksi tatap muka, betapa pentingnya itu dunia pendidikan.
Jadi bagi teroris-teroris yang bilang bahwa, 'Oh kita bisa melakukan sistem pendidikan yang jauh lebih baik secara online', itu simply, apalagi untuk jenjang muda, itu tidak benar.
Jadinya kebutuhan untuk melakukan interaksi dan dialog secara tatap muka, kebutuhan untuk bersosialisasi dengan teman-teman lain, itu merupakan suatu hal yang naik sekarang posisinya.
Bukan cuman teknologi. Tapi kebutuhan tatap muka itu menjadi real dan membantah semua argumen bahwa teknologi itu bisa menggantikan guru. Tidak. Sama sekali salah dan ini malah di masa pandemik itu terbukti, gitu.
Dan ketiga, great reset yang terjadi adalah partisipasi orangtua di dalam pendidikan anaknya. Belum pernah kita melihat, saya termasuk ini, saya termasuk menjadi orangtua yang harus membimbing anak-anaknya, saya punya tiga anak balita yang sebenarnya sudah mulai PAUD tapi terpaksa online dan tantangan saya sebagai orangtua ini dirasakan semua orang tua sekarang, yang harus belajar lagi bagaimana menjadi guru.
Belajar bagaimana mengolah kurikulum. Dan untuk pertama kalinya orangtua baru melek kurikulum. Banyak sekali. Mereka baru menyadari, ini lho yang dipelajari anak saya. Ini lho metode-metode yang lebih efektif dan tidak efektif. Dan apa peran saya dalam pendidikan anak saya?
Yang yang tadinya banyak sekali persepsi sekolah itu adalah tempat outsourcing untuk pendidikan anak-anak. Sekarang berubah menjadi, mungkin gak gitu. Mungkin orangtua yang pendidik utama dan sekolah adalah membantu mengkoordinasikan menjadi suplemen daripada pendidikan anak tersebut.
Jadinya paradigma orangtua sebagai pendidik utama ini luar biasa berubahnya, menurut saya.
Contoh di kurikulum aja, ya. Itu kurikulum darurat bahwa kita bisa menurunkan begitu banyak kompetensi dasar dengan pakar-pakar akademi yang hebat-hebat, baik dari Indonesia mau pun dari luar negeri, yang kita lihat dari tim kita, itu menunjukkan bahwa kalau tidak ada pandemik, mungkin kita akan terdorong untuk merampingkan kurikulum kita, gitu.
Dan itu adalah reset-reset yang bisa positif dibawa ke depannya