Mestinya gak pernah ada TWK, bahkan kalau dilihat PP 41 tahun 2020 yang membahas soal peralihan pegawai KPK menjadi ASN itu sama sekali tidak membicarakan TWK, proses tes dan seleksi. Kedua, PP itu dikeluarkan bulan Juli sehingga Agustus diadakanlah FGD antara KPK dan kementerian terkait.
Awal pembahasannya ada permintaan untuk dilakukan tes, ada pembahasan posisi seperti CPNS dan setelah diskusi dijelaskan para ahli dan clear tidak ada masalah apapun, dan peralihan sifatnya memudahkan dan tidak merugikan.
Oleh karena itu bulan September, pembahasan sudah selesai, tidak ada sama sekali peralihan dengan cara tes apa pun termasuk TWK. Kalau bicara tentang Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan lain-lain, kita lihat semua pejabat mulai dari calon presiden dan wapres, calon kepala daerah, calon DPRD, calon DPR RI dan lain-lain itu hanya membuat pernyataan tanda tangan di atas materai.
Artinya pegawai KPK tidak lebih tinggi daripada pejabat tadi. Artinya, paling tidak sama, KPK telah memenuhi, hingga kemudian sebagaimana anjuran di internal KPK pembuatan aturan harus dimasukkan dalam portal, untuk diketahui seluruh pegawai.
Yang dimasukkan ke dalam portal itu sama sekali tidak membahas TWK. Hingga bulan Januari, ternyata pak Firli membuat seolah-olah ini banyak taliban di KPK. Kata-katanya pak Firli itu dijadikan landasan oleh dirinya sendiri dan menyelundupkan norma seolah-olah diperlukan adanya itu.
Pertanyaannya, siapa yang berwenang membuat itu? Itu adalah pejabat pengelola kepegawaian dalam hal ini Sekjen dan pejabat di bawahnya bukan pak Firli sebagai ketua KPK. Itulah temuannya, ada juga berita acara yang dipalsukan, ada rapat yang bukan pimpinan yang harusnya di level teknis tapi dia sendiri yang rapat, sehingga normanya dinamakan penyusupan atau penyelundupan norma.
Pertanyaannya kenapa itu harus dipaksakan dan memaksakan poin kaidah yang dibenarkan. Contohnya harus dimasukkan portal, melalui pembahasan, itu tidak sama sekali, semua dilewatkan. Udah begitu, dalam implementasinya bermasalah pula.
Implementasi dikatakan bahwa proses TWK yang berwenang melakukan asesmen TWK adalah KPK yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu oleh BPKN. Jadi siapa yang melaksanakan? KPK peraturannya, bukan BKN. Tapi dibantu oleh BKN. Tapi pelaksanaannya dilakukan bukan oleh KPK atau BKN tapi ada lembaga lembaga tanpa persetujuan dan tanpa dasar hukum.
Implementasinya ternyata pewawancara tidak memiliki sertifikasi, tidak jelas, sama seperti Anda menjalani ujian di sebuah universitas, terus kemudian Anda dapat nilai lima, kemudian Anda bertanya kenapa saya dapat nilai lima dan tidak lulus? Dan yang mana saya salah? Oh gak bisa, ini rahasia.
Gak logis, mana ada? Orang membut penilaian atas dirinya itu menjadi hak dasar manusia untuk yang bersangkutan harus diberitahu terkait dengan hasil tes. Setelah tes dia harus diberitahu hasilnya, misal anda ikut tes terus disebut Anda salah semua nilainya.
Harus ada referensinya jawaban itu salah, harus ada standarnya kapan itu dibilang tepat, harus ada standarnya. Kecuali ada aturan dasarnya untuk membenarkan atau menyalahkan, itu gak ada.
Ini yang terjadi begitu, mereka bikin hal hal yang gak jelas kemudian bikin stigma. Dan kemudian orang orang yang distigma adalah orang-orang yang memiliki kontribusi penting di KPK baik di bidang penindakan, pencegahan, dan fungsi-fungsi lain yang mendukung kinerja KPK yang lebih baik.
Apakah kebetulan? Lucu kan, jadi kalau dilihat kok nyasar ke orang-orang spesifik, udah ngawur, tidak menggunakan kaidah, ini jelas seperti yang dikatakan Ombudsman dan Komnas HAM bahwa ini adalah upaya yang dilakukan, memanipulasi sedemikian rupa, melawan hukum, ilegal, yang dimaksud untuk menyingkirkan pegawai KPK tertentu, ini jelas.