[WANSUS] Novel Baswedan: Saya Telah Berjuang, Koruptor Lebih Berkuasa

Jakarta, IDN Times - Novel Baswedan meneteskan Cravit antibiotik ke matanya ketika selesai menuruni anak tangga gedung lama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa (21/9/2021) siang. Bersama seorang temannya, Novel diantar dari forum diskusi ke tempat kami bersua.
“Assalamualaikum,” sapa Novel ketika menghampiri saya, seraya seorang teman itu memastikan bahwa saya adalah wartawan dan lekas kembali ke ruangannya.
“Waalaikumsalam, Pak,” jawab saya.
“Alhamdulillah, yuk kita cari tempat yang lebih nyaman dan terang,” katanya sambil melangkah ke arah sofa warna abu-abu tepat di depan jendela depan gedung lama KPK.
Langkahnya tegap, sesampainya di sofa Novel membuka topi dan kaca mata sebelum duduk membelakangi cahaya yang masuk dari barat. Dengan tenang, ia mulai memulai pembicaraan. Kami pun larut dalam perbincangan selama kurang lebih 45 menit.
Novel mulai mengenang jalan perjuangan yang ia pilih sejak 2007 di KPK. Sebanyak lebih dari 40 kasus telah ia tangani sampai saat ini, tepat 9 hari menuju purna tugas setelah dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi Aparatur Sipil Negara oleh KPK.
Nama Novel tercantum dalam daftar 57 orang pegawai yang akan diberhentikan KPK pada 30 September 2021 setelah dinyatakan tidak lulus TWK. Keputusan itu tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1354 Tahun 2021 yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri pada 13 September 2021.
Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Novel Baswedan.
Bagaimana cerita awal perjalanan Novel Baswedan mendedikasikan diri di KPK?
Saya itu 2006 mendaftar masuk di KPK, ketika itu saya sedang mengikuti pendidikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Di akhir 2006 saya diterima, saya mulai masuk di KPK dengan kegiatan persiapan, pelatihan, dan segala macam dan dinyatakan secara formal menjadi pegawai KPK itu 2 Januari 2007.
Pertama saya masuk memang karena saya sudah berpengalaman menangani kasus korupsi. Saya tidak banyak mengikuti pelatihan terlebih dahulu sebagaimana rekan-rekan, saya langsung running di kasus yang berjalan, di antaranya waktu itu pertama kali kasus Damkar se-Indonesia.
Dalam perjalanannya, tentu banyak kasus yang ditangani hingga kemudian saya bersama teman-teman di KPK bersama dengan bidang yang lain, kita membuat suatu pola operasi tangkap tangan dan itu ternyata sangat efektif.
Operasi itu kemudian yang berhasil mengungkap kasus-kasus besar, karena begini, mengungkap kasus itu profil madisnya banyak, apalagi ketika sudah cukup lama waktunya dan lain-lain.
Kelebihan dari OTT itu bisa mengungkap dengan bukti yang real saat itu dan bukti itu menjadi bukti yang mudah untuk dikonfirmasi dan dijelaskan. Oleh karena itu, dari kasus OTT itu bisa mengungkap kasus besar walaupun kadang kala ketika di OTT kasus itu bukan besar, tapi pengungkapannya menjadi besar.
Perjalanan dari itu, memang 2009 ada jejak buaya pertama, jadi di KPK menangani kasus yang melibatkan oknum penegak hukum. Ada resistensi dan perlawanan, begitu juga di tahun 2012 ada lagi dan kebetulan 2012 saya mulai terlibat di sana karena kasusnya saya yang menangani dan saya koordinator penanganan kasusnya.
Pengalamannya seperti itu hingga 2015 seterusnya, semakin lama memang perlawanan kepada KPK itu semakin kuat dan yang paling terasa setelah tahun 2014, karena di 2014 KPK sudah mencanangkan fokus area di masalah korupsi bidang sumber daya alam.
Korupsi SDA itu yang terbesar sebenarnya dan memang SDA ini praktik korupsi banyak digunakan dan diduga dimanfaatkan oleh kebijakan politik, yang memerlukan pembiayaan dan lain-lain. Dan kemudian menjadi ruang untuk mencari uang besar-besaran sehingga perlawanannya juga semakin keras.
Yang saya pahami kemudian di 2015-2016 upaya menyerang KPK ini semakin rapi, semakin terstruktur, dan terencana bahkan bisa dikatakan sejak 2016-2017 itu sudah dibuat suatu framing atau persepsi palsu seolah di KPK ada radikalisme, nah itulah yang membuat persepsi atau dukungan publik menjadi terbelah.
Padahal kalau dikatakan, memang asal mula isu itu fenomena gak jelas tiba-tiba muncul dan gak ada bahkan. Dan ini yang membuat berhasil memecah persepsi publik itu, membuat serangan itu semakin efektif dan yang hebatnya memang koruptor ini bisa terencana dan bekerja dengan sabar, yang kemudian ketika mereka semakin lama semakin kuat, maka di 2019 revisi undang-undang dilakukan dan banyak hal-hal yang membuat KPK semakin lemah.
Hingga kemudian peralihan menjadi ASN, saya yakin di Desember 2020 ketika kawan-kawan di KPK berhasil masih bisa kerja mengungkap dua kasus OTT yang melibatkan menteri aktif dan kasus mafia pajak itu, tentunya mengejutkan bagi orang-orang yang sudah membuat skenario pelemahan KPK.
Sehingga kemudian saya meyakini itu ada korelasinya dengan di bulan Januari dibuat atau dipaksakan, bahasa Ombudsman dan Komnas HAM, ada penyisipan norma. Saya mengatakan penyelundupan norma, yang norma itu kemudian menjadi pembenaran untuk dilakukan proses TWK (Tes Wawasan Kebangsaan).
Kemudian berjalan dengan proses sewenang-wenang melawan hukum yang sampai kemudian digunakan untuk menyingkirkan. Ada orang yang kemudian mengatakan, toh juga peraturan diuji oleh MK dan MA dibenarkan.
Kita jangan lupa bahwa MK memutuskan tanpa sidang, artinya fakta yang kami dapatkan dan kami sampaikan kepada Ombudsman dan Komnas HAM tidak menjadi bagian untuk diperiksa. Kan bisa saja dalam permohonan itu disampaikan fakta-fakta tadi bukti-bukti, perlu diingat di MK yang bikin permohonan bukan kami, sehingga pastilah orang yang mengajukan permohonan itu tidak memasukkan poin tadi.
Sehingga saya bisa katakan, sekalipun konstitusional tapi fakta-fakta objektif tidak diperiksa karena memang tidak masuk di hal-hal yang sifatnya pembuktian real.