Itu case by case melihatnya. Ada angel investor yang disebut bohir tadi. Tentu dengan keyakinan bahwa bohir ini memiliki kepentingan kalau dia duduk. Biasanya kalau praktik di DPR RI, bohir ini akan berpesan agar si caleg meminta ke parpol tempatnya bernaung agar ditempatkan di komisi tertentu.
Karena si bohir ini memiliki bisnis yang perlu di-back up kalau perlu ada masalah di parlemen. Tapi, bukan berarti selalu ada masalah ya.
Cuma, kalau ada masalah, ada pihak yang bisa membantu. Kelas (angel investor) pasti investasi tingkat raksasa. Kalau di DRPD Provinsi atau Kabupaten, pasti (bohirnya) lebih kecil.
Kedua, biaya paling besar ya disiapkan oleh diri sendiri dan keluarga. Justru, komposisinya yang paling banyak ya dibiayai sendiri. 90 persen.
Makanya, setelah proses pencalegan berseliweran berita ada yang masuk ke rumah sakit jiwa atau mengakhiri hidupnya. Seandainya dugaan ini betul, akan terlihat ketika caleg tersebut duduk di parlemen.
Yang dilakukan oleh si caleg itu adalah 'menyekolahkan' SK (surat keputusan) dia sebagai anggota legislatif ke BPD (Bank Pembangunan Daerah) setempat untuk pinjaman. Itu dilakukan agar bisa melunasi kepada pihak-pihak yang diutangi.
Hal itu sudah menjadi semacam rutinitas. Kalau ditanyakan kepada anggota DPR atau DPRD, pasti ditemukan cerita-cerita semacam itu.
Tapi, yang perlu dicatat untuk pileg, angel investor itu hampir tidak ada, ada pun hanya 5 persen. Kalau untuk pilkada itu banyak.
Ketiga, baru biayanya mengandalkan partai. Parpol mendapatkan dana dari para anggotanya yang duduk sebagai anggota legislatif di tingkat nasional, provinsi, kabupaten membayar iuran bulanan. Nanti, iuran itu dikeluarkan menjelang pemilu.
Dana itu digunakan sebagai insentif. Biasanya parpol di tingkat pusat itu akan memberikan insentif untuk pembiayaan saksi. Tapi, itu kan pasti tidak cukup.
Misalnya biaya saksi Rp200 ribu per orang. Itu nominal yang pernah disebut oleh Pak Jusuf Kalla di satu media.
Rp100 ribu misalnya diberikan oleh DPP parpol. Sisa Rp100 ribu itu biasanya ditanggung renteng. Caleg di DPR RI nya nanggung Rp30 ribu, lalu caleg di tingkat provinsinya menanggung renteng Rp30 ribu, caleg di tingkat kabupaten Rp40 ribu.
Itu yang biasanya dilakukan di partai kami. Tapi, informasi yang saya dapatkan, praktik serupa juga terjadi di partai-partai lain.
Sementara, untuk pilkada, angel investor ini memang lebih banyak (peranannya). Karena rata-rata ada kepentingan bisnis di balik itu.
Makanya di program podcast lain, saya katakan seandainya biaya kampanye diambil dari dananya sendiri, maka bisa direm dorongan-dorongan untuk korupsi. Karena dia juga pasti berpikir ada risikonya.
Sementara, kalau biaya kampanye dari orang lain, itu yang agak sulit. Karena orang lain menganggap ini sebagai bisnis.
Siklusnya kan lima tahun. Artinya, dalam waktu tiga tahun harus kembali, tahun keempat sudah harus menabung untuk tahun berikutnya. Tahun kelima sudah bertarung lagi. Jadi, ini sebuah bisnis yang BEP (Breaking Event Point) harus kembali dalam tiga tahun.
Saya mengutip data yang pernah disampaikan oleh Pak Nurul Ghufron (komisioner KPK), ada 429 kepala daerah dari 514 kabupaten/kota tersangkut kasus korupsi. Itu artinya 83 persen kan korupsi. Pernyataan dari pimpinan KPK kan memperkuat itu.
Ketika angkanya (50 persen kepala daerah korup), itu sudah mengkhawatirkan. Sementara, kalau 82 persen sudah terjaring korupsi, maka sesuatu perlu dilakukan.
Reformasi perlu dilakukan di sistem politik di Indonesia. Saya khawatir negeri ini secara politik menuju kehancuran. Ini perlu dicatat bahwa saya tidak berbicara secara ekonomi atau industri.
Jadi, ketika kita melantik kepala daerah, jangan-jangan secara sadar seluruh stakeholder di negeri ini sedang melakukan wisuda untuk menuju ke proses hukum. Itu yang saya appeal agar ada perubahan.
Karena setelah peristiwa (saya terkena OTT), jubir KPK mengharapkan agar saya bisa dijadikan duta antikorupsi. Ini adalah persoalan yang serius.
Pertama, dari aparat penegak hukum (APH) sudah mengidentifikasi praktik korupsi sebesar itu. Come on, ini sistem, bukan lagi oknum!
Kedua, berdasarkan disertasi Burhanuddin Muhtadi di ANU (Australia National University), menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan praktik politik uang terbesar kedua di dunia. Itu kan menyedihkan sekali. Apalagi kita adalah negara dengan penduduk umat Islam terbesar di dunia. Kok malah begitu kelakuannya?
Tetapi, saya ingin mengoreksi pernyataan pimpinan KPK. Biaya terbesar di pilkada bukan dari mahar. Dana terbesar digunakan untuk kampanye.
Gilak apa, ada biaya yang dibayarkan ke parpol, lalu calon yang kami dukung kalah? Karena mereka kehabisan bayar duit ke parpol. Kan itu gak mungkin! Kami pasti menginginkan agar calon yang didukung menang.
Salah satu bentuk kampanye yang diterima luas di masyarakat adalah politik uang. Kenapa? Karena sejak pilkades pun, warga sudah dibiasakan dengan praktik politik uang itu.