Presiden Prabowo tiba di Brasil untuk hadiri KTT G20 (dok. Sekretariat Presiden)
Gini, kalau iklan secara umum sih kita gak anti ya. Maksudnya kita terima-terima aja. Tapi dengan syarat harus, gak boleh satu, gak boleh cawe-cawe editorial doang gitu. Maksudnya editorial independence itu take it or leave it, kalau kamu mau ngelarang-ngelarang atau ngatur-ngatur, kami harus gini.
Kalau ngasih saran oke lah, misalnya kami kan kerjasama sama NGO, misalnya NGO Greenpeace ya bilang, kami tuh lagi campaign ini anak buah kapal gitu ya. Greenpeace tuh gak bakal tuh, cawe-cawe kami mesti nulis apa. Dia cuman bilang, kami butuh story-nya.
Campaign-nya kami udah bagus karena Greenpeace campaign-nya bagus banget, lebih banyak followers-nya, lebih banyak dari Project Multatuli. Tapi dia bilang kami butuh story-telling-nya, butuh story jurnalistiknya. Terus dia bilang kalau kami sih sebenarnya sudah riset, ini risetnya, boleh pakai, boleh enggak gitu ya.
Nah itu kita kerjasama tuh. Sebenarnya pada dasarnya kan kayak iklan sebenarnya. Tapi beda ya, dia bukan iklan dalam arti korporat, misalnya pasang iklan terus bagus-bagusin kami, enggak gitu.
Bagus-bagusin Greenpeace kan enggak gitu. Dia cuman punya program, dia punya program butuh story-nya. Jadi kita bilang, oh align nih, maksudnya satu jalan nih, satu visi sama kita, karena kami melayani yang dipinggirkan, isu anak buah kapal yang jadi perbudakan di industri udang dan ini segala macam, oke dong gitu.
Itu sejalan sama editorialnya gitu ya. Itu redaksi itu yang mutusin, redaksi bilang oke, enggak apa-apa gitu. Kalau redaksi enggak mau, kita enggak paksa. Kita enggak paksain kerjasama. Jadi redaksi harus bilang mau dulu. Gitu ya, jadi iklan tuh enggak anti.
Tapi kalau pemerintah modelnya yang iklan, iklannya yang model pasang iklan kayak yang konvensional banget, kayak Tempo. Tempo kan memang iklan dari misalnya Kabupaten Kutai gitu ya. Misalnya Kabupaten Kutai sedang ada program apa. Atau Kabupaten Tubaba, kota kreatif misalnya gitu ya. Terus mereka pasang iklan dalam hal konvensional yang benar-benar kayak iklan dipasang di satu halaman, terus yang ada firewallnya itu bentuknya kan biasanya fontnya beda, warnanya beda. Pokoknya pembaca begitu tahu, begitu buka langsung, oh ini mah bukan berita, ini iklan. Yang penting kan itu.
Yang penting itu. Gak apa-apa. Kalau kayak gitu kan dia posisinya sama kayak BMW pasang iklan di majalah, ya kan, orang tahu. Itu sebenarnya, kami bukannya anti atau bilang itu salah. Enggak, itu sebenarnya oke aja. Itu salah satu pendapatan yang menurutku oke. Cuma, kan di Project Multatuli tuh gak ada tempatnya aja. Yang kayak banner gitu kita memang gak ngasih.
Jadi kalau kamu klik Project M tuh gak ada tuh banner-banner pop-up. Buk, buk, buk, gak ada. Gak ada iklan yang Google juga. Kami juga gak pasang yang AdSense. Karena gini, karena liputan kami itu panjang. Yang baca gak banyak. Kalau yang baca itu misalnya katakanlah 10 ribu sampai 200 ribu gitu ya. Pendapatan yang kami dapat dari klik-klik-klik itu gak nyandak.
Gak BEP sama biaya liputannya. Satu kali liputan bisa Rp10 juta. Semua ya, misalnya logistik, penulis, apa segala macam. Karena kami berusaha bayar penulis gak rendah-rendah amat lah gitu ya. Apa, transport juga kalau jauh kita tanggung. Itu, ya apa, kalau buat misalnya satu artikel itu Rp10 juta itu rata-rata ya. Maksudnya harga sedang lah gitu. 10 juta itu kami harus berapa ya? Kayaknya harus sejuta deh kliknya. Nah itu gak mungkin.
Jadi kami yaudah daripada gak dapat ngapain gitu. Jadi sebenarnya sama sekali gak usah pakai klik.
Bagaimana mekanisme produksi artikel Project Multatuli sendiri sampai berita itu dipublish?
Kalau editor ya sama ya. Cuma karena kami kecil jadi prosesnya tuh lama. Reporter karena kami banyak freelancer, jadi gak langsung ngasih CMS tapi lewat email. Terus editor buka.
Tapi itu biasanya tulisan sebelum dia nyelesain tulisan itu biasanya udah ada komunikasi panjang dulu. Jadi satu nge-pitch ide dulu. Nge-pitch ide, kalau idenya gak disetujui jangan nulis, jangan ke lapangan gitu ya.
Tapi kalau misalnya punya ide, terus ya oke disetujui, dibiayai itu semua dan kebutuhannya kalau jauh. Terus tek-tok, tek-tok, tek-tok, draft 1, draft 2, draft 3 bisa sampai gak tahu tergantung editornya. Setahuku paling cepat tuh sebulan lho,
kalau di Project M itu. Ada tuh tulisan 3 bulan nggak naik-naik. Tek-tok, tek-tok dikembalikan, dikembalikan lagi.
Nah untuk soal bahasa kami karena gak punya proof reader, proof readingnya keroyokan. Jadi sebelum di-push ke publik, udah naik CMS, tapi kan URL-nya belum nge-top nih ceritanya, maksudnya belum di-distribusi. Itu dibaca dulu rame-rame sama kadang-kadang aku, kadang-kadang teman yang lain.
Jadi ada satu kanal dislike gitu, proof reading gitu. Terus di-proofread gitu. Kadang-kadang pembaca juga yang nangkep, kalau ada yang salah gitu ya, kita koreksi.