Kelompok Pinggiran Mendobrak Batas

Jakarta, IDN Times - Viriya, itulah namanya. Pemuda yang bekerja menjadi jurnalis di sebuah media anti-mainstream atau media bukan arus utama bernama Project Multatuli ini rela menjadi kurir Shopee Express selama dua minggu, demi menyuguhkan tulisan mendalam soal perihnya kehidupan seorang kurir e-commerce.
Pekerjaan itu dilakoni pada Juni 2021, dan tulisan tentang kurir itu pun terbit pada Agustus 2021 di platform projectmultatuli.org, dengan judul Bak Diikat Tali Sehasta: Saya Wartawan, Saya Menjajal Jadi Kurir, Saya Ngos-ngosan".
Dalam tulisannya, Viriya menceritakan bagaimana suka duka menjadi seorang kurir, yang ternyata tidak mudah. Dia menyebut, para kurir harus berkeliling Jakarta mengantarkan paket demi paket dari pagi hingga tengah malam, demi mendapat upah harian setara harga segelas kopi Starbucks bagi masyarakat kelas menengah.
Tidak disangka, tulisan soal kurir itu ternyata dibaca ratusan ribu orang. Bahkan masih dibaca hingga saat ini. Tak hanya itu, Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani mengungkapkan, serial tulisan soal kurir itu juga berhasil menggedor Kementerian Tenaga Kerja untuk memerhatikan upah buruh perusahaan digital.
"Dampaknya luar biasa. Karena serial kurir itu, membuat Kementerian Tenaga Kerja waktu itu, 2021 sampai awal 2022, memanggil paguyuban driver, terus bikin petisi di Change.org (untuk memberikan perlindungan kepada kurir), gara-gara tulisan-tulisan kami. Jadi yang kami kejar tuh dampak," ujar Evi kepada IDN Times, Selasa 24 Desember 2024.
Dikutip dari situs projectmultatuli.org, disebutkan Project Multatuli adalah sebuah inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan. Project Multatuli merupakan gerakan jurnalisme berbasis keanggotaan pertama di Indonesia, yang percaya pada peran jurnalisme untuk mengawasi kekuasaan dan penguasa sebagai prasyarat demokrasi.
Project Multatuli bukan satu-satunya media anti-mainstream berbasis gerakan yang menyuguhkan tulisan-tulisan mendalam dan investigasi untuk menyuarakan isu-isu masyarakat marginal dan minoritas, serta mengawasi pelaksanaan demokrasi. Sebuah gerakan bernama Kurawal Foundation pun melakukannya.
Berbeda dengan Project Multatuli, Kurawal tak hanya menyuguhkan tulisan, foto dan publikasi lainnya di situs mereka sendiri, yakni kurawalfoundation.org. Tapi mereka juga menggandeng media-media terutama media lokal di sejumlah daerah di Indonesia, untuk bekerja sama mempromosikan nilai-nilai demokrasi, memperkuat demokrasi, dan merangsang kemunculan subyek-subyek politik baru--terutama mereka yang paling tidak makmur secara politik, ekonomi, dan sosial--yang bertindak untuk kepentingan demokrasi.
Program Officer Kurawal Foundation Indriyani mengungkapkan, pihaknya pernah bekerja sama dengan media lokal di Maluku untuk mengawal isu publik tentang tambang nikel. Untuk bisa menghasilkan tulisan mendalam terkait tambang nikel itu, jalan terjal harus dilalui.
"Dia (jurnalis media lokal) harus berlayar ke kepulauan Ternate dan Halmahera untuk nyeberang pulau yang bahkan bisa memakan waktu semalaman atau dua hari," ujar Indriyani kepada IDN Times, Selasa 24 Desember 2024.
Mendobrak penguasa dan persepsi publik melalui konten

Mengawal dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi dengan menyuarakan kepentingan kelompok marginal, rentan, minoritas, dan terpinggirikan juga dilakoni Konde.co, Watchdoc Indonesia, Maghdalene.co dan lain sebagainya.
Melalui video, film, foto, dan tulisan-tulisan mendalam dan investigatif yang disuguhkan di kanal mereka, media-media anti-mainstream tersebut berusaha menjangkau banyak audiens atau pembaca, sehingga tercipta demokrasi yang bermartabat dan bermaslahat bagi masyarakat Indonesia.
Nyatanya memang banyak produk-produk dari media anti-mainstream tersebut yang berhasil menggedor pintu pembuat kebijakan, dan mempengaruhi persepsi publik terhadap suatu tindakan atau kebijakan yang dibuat penguasa. Misalnya, serial tulisan tentang kurir e-commerce yang ditayangkan Project Multatuli.
Watchdoc Indonesia juga pernah menggemparkan publik Indonesia, melalui karya film dokumenter mereka yang berjudul Dirty Vote.
Tepat 3 hari sebelum masyarakat Indonesia memilih presiden, wakil presiden dan anggota DPR, DPRD, dan DPD dalam Pemilu 14 Februari 2024, Watchdoc meluncurkan film dokumenter Dirty Vote, yang berisi tentang analisis kecurangan-kecurangan sepanjang Pemilu 2024.
Film yang dirilis di media sosial Youtube pada 11 Februari 2024 dengan durasi 1 jam 57 menit itu sontak menjadi sorotan dan perbincangan hangat. Pakar komunikasi politik sekaligus dosen komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Suko Widodo, dikutip dari unair.ac.id menyebutkan, karena film tersebut banyak masyarakat mempertanyakan legitimasi pemerintah terkait netralitas pemilu.
Sementara Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, dikutip dari tempo.co, menilai film dokumenter Dirty Vote berpengaruh terhadap elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024. Menurut Adi, pengaruh itu menyasar kelompok kelas menengah atas dan pemilih rasional.
"Secara opini ini tentu akan berpengaruh di pemilih kelas menengah atas, kelompok kritis, pemilih rasional," kata Adi seperti ditayangkan tempo.co pada 12 Februari 2024.
Peta media di Indonesia dan fungsi media anti-mainstream

Namun, Indriyani menegaskan, media anti-mainstream yang bisa memberi dampak terhadap demokrasi, tidak hanya yang berada di Jakarta atau bersifat nasional, tapi banyak juga yang sifatnya lokal atau media-media di daerah.
"Kalau data berapa banyak pastinya jumlah media anti-mainstream kita belum punya. Tapi lima tahun terakhir di Kurawal, kerja sama dengan media seperti ini, ternyata banyak juga kok di daerah, di lokal, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, Papua. Jumlah pastinya kami kurang tahu, tapi selama ini yang pernah kerja sama dengan kami ada sekitar 30 media. Tapi perkiraan kami bisa lebih banyak dari itu," ujar Indriyani.
Berdasarkan hasil penelitian Dewan Pers dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) per 12 Juni 2024, saat ini ada 1.800 media yang terverifikasi di Dewan Pers. Dari jumlah itu, sebanyak 1.015 merupakan media siber (online), 377 televisi, 18 radio, dan 442 cetak.
Peneliti UMN Ignatius Haryanto, dikutip dari dewanpers.or.id, memaparkan bahwa berdasarkan data yang diperoleh dari asosiasi media/konstituen Dewan Pers (AMSI, SMSI, JMSI, ATVSI, ATVLI, PRSSNI, SPS), jumlah total media siber dari konstituen sebesar 3.886 media. Dari jumlah ini baru 36 persen yang terverifikasi Dewan Pers (1.850 media).
Selama ini, diasumsikan jumlah total media secara nasional mencapai 51.000-an. Dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 514, maka ada 100 media di tiap kabupaten/kota, termasuk media anti-mainstream.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui Provinsi Lampung paling banyak memiliki media siber yakni 417, kemudian untuk posisi lima teratas diikuti oleh Sumatra Utara dengan 250 media, Jawa Barat 234 media, Riau 228 media, dan Kalimantan Timur 220 media. Diketahui juga bahwa konsentrasi pertumbuhan media paling banyak di Indonesia bagian barat, yakni Sumatra dan Jawa.
Salah satu media anti-mainstream yang sifatnya lokal disebutkan oleh Indriyani, yaitu majalah Sedane dan Trimurti di Bandung yang khusus mengangkat isu perburuhan. Ada juga media daring yang berbasis di Palu, Sulawesi Tengah, yaitu Tutura.Id.
Founder Konde, Luviana Ariyanti mengungkapkan, media-media anti-mainstream, di antaranya Konde.co, muncul untuk menyuarakan suara-suara dari kelompok marjinal dan minoritas, seperti buruh, perempuan, pekerja rumah tangga, masyarakat miskin kota, kelompok disabilitas, dan juga keberagaman.
"Terus agama-agama minoritas dan lain-lain. Jadi Konde kemudian hadir dari sana untuk menyuarakan itu," ujar Luviana saat dihubungi IDN Times, Senin, 23 Desember 2024.
Meski konten-konten yang mereka hasilkan bersifat spesifik, tidak populer, bahkan sangat keras mengritik penguasa dan pembuat kebijakan, namun Produser Watchdoc Indonesia Dipo Muhamad tetap percaya bahwa nilai-nilai yang dipertahankan, yang dianut oleh para media anti-mainstream, terutama untuk menjaga independensi dan menyuarakan kepentingan publik dan nilai-nilai demokrasi, tetap bisa diterima oleh masyarakat.
Sebab, "setiap informasi yang kami distribusikan ke publik itu memang benar-benar quality control, benar-benar dijaga gitu. Kami gak pernah menyiarkan atau menyebarluaskan informasi hoaks, kami gak pernah memfitnah. Apa yang kami tayangkan itu memang basisnya adalah bukti, kemudian fakta, kemudian berdasarkan kajian-kajian, analisis akademik bahkan. Kami juga gak partisan, partisan artinya kami berkomplot dengan salah satu partai politik gitu misalkan, kami juga gak pernah begitu. Jadi memang basis nilainya tentu kami coba mendistribusikan informasi yang memang punya keberpihakan ke publik," papar Dipo kepada IDN Times, Selasa 24 Desember 2024.
Dikutip dari channel Youtubenya, disebutkan Watchdoc adalah rumah produksi audio visual yang berdiri sejak 2009, dan telah memproduksi 165 episode dokumenter, 715 feature televisi, dan sedikitnya 45 karya video komersial dan nonkomersial yang memperoleh berbagai penghargaan. Salah satunya adalah penghargaan Ramon Magsaysay pada 2021 di Manila, Filipina.
Media anti-mainstream di tengah gempuran media sosial dan arus utama

Karena nilai-nilai yang kuat tersebut, terutama keberpihakan pada kepentingan publik, membuat media-media anti-mainstream tidak begitu terpengaruh dengan gempuran media sosial yang menyuguhkan berbagai konten populer dan menarik. Termasuk juga persaingan dengan media mainstream (arus utama). Sebaliknya mereka memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan informasi dan konten-konten yang sudah diproduksi, dan mengajak media mainstream untuk berkolaborasi, menyuguhkan tulisan-tulisan, foto, atau video mendalam dan berkualitas.
Seperti yang dilakukan Watchdoc melalui film Dirty Vote. Film yang sukses menggemparkan publik Tanah Air jelang pemungutan suara Pemilu 2024 tersebut ditayangkan di platform media sosial Youtube, yang kemudian ramai dibahas hingga memunculkan pro kontra di platform media sosial lainnya. Film ini juga menjadi topik tulisan dan tayangan di media-media mainstream.
Berjalan beriringan dan memanfaatkan media sosial untuk memperluas jangkauan pembaca juga telah dilakukan Project Multatuli. Melalui media sosial Instagram, Project Multatuli mempromosikan dan menyampaikan pesan utama dari serial tulisan soal kurir e-commerce, yang kemudian membawa banyak orang dan follower untuk membuka atau mengklik web mereka demi bisa membaca lebih panjang soal kurir tersebut.
"Pesan utamanya lumayan nyampe di Instagram, follower kami banyak anak muda yang kritis gitu," ujar Evi dari Project Multatuli.
Dari pengalaman serial tulisan kurir e-commerce, Evi bahkan bisa menepis anggapan bahwa anak muda saat ini lebih senang menonton video daripada membaca. "Senangnya nonton video itu benar. Tapi mana mau baca itu gak benar. Mau baca. Ada yang mau baca. Gak sedikit yang mau baca. Gak sedikit yang mau baca panjang. Gak sedikit yang mau mikir dalam. Itu banyak ternyata," ujarnya.
"Meskipun skalanya gak juta-juta (pembaca), tapi cukup banget (untuk membuat perubahan sosial). Untuk bikin perubahan sosial, perubahan politik itu kan juga gak butuh juta-jutaan orang sebenarnya," jelas Evi.
Dia mengungkapkan, pembaca Project Multatuli 50 persennya adalah anak muda, 50 persennya lagi berusia 35 tahun ke atas.
"Itu pembaca pembaca kami adalah mereka yang capek dengan berita pendek-pendek, capek mau baca satu story pendek aja kudu dikerubuti iklan yang banyak. Itu mereka capek, terus udah dikerubutin banyak iklan mereka juga harus klik beberapa kali dan informasinya minim banget, gak dalam. Itu orang-orang yang lelah seperti itu tuh sudah banyak. Mereka merasa mendingan cari informasi dari influencer atau dari media homeless di Instagram kalau cuma pendek-pendek saja," ujarnya lagi.
Dipo dari Watchdoc malah menyebutkan, media sosial harus dimanfaatkan dengan baik, dalam arti untuk menyebarluaskan informasi dan konten-konten yang sudah diproduksi.
"Meskipun memang kritiknya kan kalau di media sosial berkaitan dengan algoritma aja ya, kadang-kadang algoritmanya ini membuat semacam echo chamber (ruang gema) gitu, kita hanya berkutat di dalam kolam kecil saja, tapi kolam-kolam ini ada banyak gitu, jadi tantangannya adalah bagaimana kita bisa menembus echo chamber di tengah algoritma yang ada," jelasnya.
Tidak hanya itu, ujar Dipo, media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber ide untuk membuat konten.
"Apa yang terjadi di media sosial sendiri itu juga bisa kami ceritakan ke dalam film, biasanya gitu. Baik itu misal ada pengerahan buzzer, perebutan narasi di ruang publik yang ada di media sosial, di digital. Itu juga bagian dari hal-hal yang kami tangkap gitu. Kemudian ada orang mengeluhkan sesuatu peristiwa atau sebuah kebijakan, kemudian mereka bersuara lewat media sosial, itu juga kami tangkap sebagai informasi yang kami coba distribusikan lagi lewat rangkuman film dokumenter gitu, misalkan," paparnya.
"Jadi beriringan lah, tantangan (media sosial) itu juga kami manfaatkan, kami tangkap, tapi di sisi lain ya memang ini jadi sebuah tantangan yang coba harus terus kami beradaptasi dengan seperti itu," lanjut Dipo.
Meskipun hubungan yang tercipta dengan media sosial bersifat simbiosis mutualisme, namun Dipo menegaskan, Watchdoc tetap setia berpijak pada kepentingan publik.
"Tapi memang yang coba kami perkuat adalah kami mencoba untuk menyuarakan suara-suara yang selama ini tidak terdengar. Misalkan dari kelompok rentan yang hari ini narasi soal komunitas atau kelompok rentan ini banyak mendapatkan stigma di publik, yang akhirnya informasi-informasi itu tidak disampaikan secara komprehensif oleh media mainstream, kemudian Watchdoc coba untuk mengisi wilayah itu sebenarnya," ujar Dipo.
Begitu juga Project Multatuli. Evi mengatakan, Project Multatuli hadir untuk jurnalisme publik, bebas dari tekanan, karena pemiliknya adalah karyawan-karyawannya sendiri.
Demi menyuarakan kepentingan publik dan nilai-nilai demokrasi, Indriyani dari Kurawal menyebutkan, setiap tahunnya Kurawal bekerja sama dengan tiga atau bahkan lebih dari lima media mainstream untuk mengangkat isu-isu publik.
"Tahun ini November 2024, yang udah jadi kerja sama sekitar 5-10 media," ujarnya.
Jadi kekuatan yang tersisa untuk menyuarakan nilai-nilai demokrasi

Terkait keberadaan media-media anti-mainstream, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli menilainya sebagai hal yang positif. Dia menyebut, keberadaan mereka merupakan suatu terobosan media yang tidak ingin bermain di dalam kolam yang sama.
"Karena mungkin punya idealismenya sendiri, sangat mungkin terjadi, ada hal-hal yang mereka perjuangkan tidak bisa dijalankan di media pada umumnya," ujar Arif kepada IDN Times Senin, 23 Desember 2024.
Arif juga menyebut, media-media anti-mainstream tidak mengandalkan traffic, sehingga lebih independen. Mereka juga lebih kritis dan berani bersuara ketimbang media-media mainstream karena model bisnisnya berbeda.
"Berani tidak berani diukur dari sisi konten. Tapi kalau melihat model bisnis mereka, mereka jauh dari kepentingan, jauh dari bisnis. Selama konten tidak bertentangan dengan funding (pendanaan), mereka bisa terus jalan, berani, mereka cukup kritis," ujarnya.
"Mereka keluar dari model bisnis yang berkembang yang banyak dianut media pada umumnya. Mereka memberikan variasi baru dari variasi lain."
Bahkan menurut Arif, pendekatan yang digunakan Project Multatuli harusnya bisa menjadi contoh bagi media lain, bahwa keterbacaan mereka tinggi meskipun mereka media kecil. "Kalau mengalahkan media mainstream sih belum ya dari sisi keterbacaan atau traffic, tapi mereka selalu punya pembaca di masyarakat," jelas Arif.
Meski skalanya masih kecil, namun Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida tegas mendukung keberadaan media-media anti-mainstream.
"Kita termasuk sangat mendukung keberadaan media seperti ini, karena kami pikir ini membuat diversity media, keberagaman media di Indonesia yang semakin banyak. Mereka media yang menjalankan kaidah jurnalistik, cek ricek, verifikasi. Karena tidak semua media menjalankan sesuai kaidah jurnalistik atau kerja jurnalis," jelasnya.
Sama seperti Arif, Nani juga menyebut media-media anti-mainstream tersebut meski skalanya kecil, tapi berani kritis karena pemiliknya orang-orang independen seperti kumpulan jurnalis, bukan konglomerat atau pengusaha.
"Mereka gak punya beban atau kepentingan. Kalaupun ada semacam donasi, pasti mereka akan mencari yang sesuai dengan visi misi mereka," kata Nani.
Meski media-media anti-mainstream umumnya masih skala kecil baik dari segi bisnis atau pendanaan, jumlah karyawan dan lain-lain, Arif menegaskan, peran mereka dalam dunia pers dan demokrasi sangat berarti.
"Mereka jelas berperan, sama-sama berperan. Mereka (media mainstream) berperan yang lain, (media anti-mainstream) juga berperan, tapi mereka punya model bisnis lain. Jadi saling mengisi, sama-sama berperan," kata Arif.
Adapun Nani menilai, keberadaan media-media anti-mainstream tersebut menjadi angin segar. "Ada alternatif baru, jadi bacaan baru bagi masyarakat, masyarakat punya darah segar yang lebih independen, saya termasuk yang mendukung. Mereka bekerja sesuai kaidah jurnalistik dengan baik, cek ricek, verifikasi. Mereka lebih berani dan kritis. Tapi sayang mereka masih dipandang sebelah mata di Indonesia," kata Nani.
Sementara itu, Indriyani mengatakan, media-media anti-mainstream menjadi salah satu kekuatan bagi masyarakat. Bahkan kekuatan yang tersisa buat masyarakat untuk menyuarakan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan publik tanpa intervensi dari pemilik modal dan pemegang kekuasaan, dan bisa memberikan dampak nyata.
(Tulisan ini dibuat hasil kolaborasi tim yang beranggotakan: Sunariyah sebagai penulis dan riset, Rochmanudin, Yosafat Diva Bayu, M Ilman Nafi'an, Amir Faisol wawancara narasumber)