Jakarta, IDN Times - "Stop hukuman mati sekarang juga! Arab Saudi pembunuh!" teriak pendiri organisasi Migrant Care, Anis Hidayah, ketika berorasi di depan Kedutaan Saudi pada Jumat (2/11).
Aksi unjuk rasa itu dilakukan Anis bersama puluhan aktivis lainnya untuk mengecam kebijakan Saudi yang mengeksekusi mati TKI asal Majalengka, Tuti Tursilawati. Perempuan berusia 34 tahun itu ditembak mati di penjara Thaif, Arab Saudi pada Senin (29/9), sekitar pukul 09.00 waktu setempat.
Eksekusi mati dilakukan usai keputusan pengadilan dinyatakan inkracht pada 2015 lalu. Menurut Anis, Pemerintah Indonesia harus mengusir Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi, sebagai bentuk protes lantaran mereka tidak memberikan notifikasi kepada KBRI atau KJRI sebelum eksekusi dilakukan.
Tuti menjadi TKI ke-6 yang dieksekusi mati oleh Saudi sejak tahun 2008 lalu. Pemerintah Indonesia langsung memprotes tindakan Saudi yang tetap mengeksekusi Tuti tanpa notifikasi. Bahkan, satu pekan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Saudi, Adel bin Ahmed Al-Jubeir, berada di Jakarta untuk membahas kelanjutan kerja sama bilateral. Presiden Joko "Jokowi" Widodo pun menitipkan sekitar 600 ribu WNI yang bermukim di Saudi melalui Adel. Namun, hal itu seolah tidak didengar, karena Tuti tetap dieksekusi tanpa notifikasi.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan hal yang berbeda. Menurut Iqbal, Saudi memberikan notifikasi, tapi setelah eksekusi mati dilakukan yakni pada Senin sore (29/9). Dalam dunia diplomasi, kata Iqbal, perilaku ini merupakan kemajuan luar biasa.
Sebelumnya, Saudi tidak bersedia memberikan notifikasi apa pun. Hal itu, berlaku bagi warga dari negara mana pun, termasuk Indonesia.
"At least kan sudah mulai berubah nih. Bahwa, kami menuntut sebelumnya sudah ada notifikasi ya tidak mungkin Saudi akan mengubah aturan itu dalam waktu satu malam," ujar Iqbal ketika menerima IDN Times di ruang kerjanya pada Kamis malam (1/11) lalu.
Bagi Iqbal, dengan adanya perubahan ini, maka tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang, Saudi bersedia memberikan notifikasi kepada Indonesia sebelum eksekusi dilakukan. Iqbal mengisahkan tidak mudah untuk memperjuangkan agar Tuti terhindar dari eksekusi mati. Butuh waktu sekitar 8 tahun dan tiga kali sidang banding agar Tuti mendapatkan keadilan.
Namun, nasib berkata lain. Di persidangan, ia justru menyampaikan keterangan yang membantah argumen bahwa pembunuhannya terhadap Suud Mulhaq Al Utaibi adalah upaya pembelaan diri.
Dari mulutnya, Tuti mengakui sudah lama jengkel terhadap pria berusia 60 tahun, karena kerap membujuknya untuk berhubungan intim. Maka, usai Salat Subuh, ia menunggu majikannya itu dan memukulnya dengan kayu berkali-kali. Peristiwa itu terjadi pada 11 Mei 2010.
Tuti tertangkap sehari sesudah kejadian di Mekkah. Usai dilakukan persidangan, majelis hakim memutuskan vonis hukuman mati qisas bagi Tuti. Pemerintah Indonesia lalu mengajukan banding dan justru hukuman yang dijatuhkan lebih berat menjadi had ghilah.
Kepada IDN Times, Iqbal mengaku sempat tidak percaya kepada putusan majelis hakim yang menghukum Tuti lebih berat. Apalagi menurut diplomat yang sempat bertugas di Austria itu, Tuti adalah sosok individu yang baik. Bagaimana kisah Kemenlu berusaha menghindarkan Tuti dari eksekusi mati? Apa saja tips yang harus diingat oleh para TKI yang bekerja di luar negeri? Sebab, kasus hukum sering kali bermula karena hal sepele. Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Iqbal: