ilustrasi (Pexels.com/Antonio Prado)
Ketika Muammar Khadafi yang dianggap diktator di Libya, tumbang pada tahun 2011, stabilitas di negara tersebut sampai saat ini tidak dapat terjaga. Konflik masih terus terjadi dan negara itu terbelah menjadi dua kekuatan utama.
Kelompok milisi Islam konservatif yang membentuk pemerintahan sementara dan diakui PBB, sejauh ini masih menguasai ibu kota Tripoli. Mereka adalah kelompok yang telah menggulingkan Khadafi.
Sedangkan pasukan saingan yang dinilai sebagai pemberontak adalah Jenderal Khalifa Haftar, seorang loyalis Khadafi yang sampai saat ini masih berjuang untuk menguasai Libya. Salah satu pasukan kuatnya adalah LAAF.
Konflik di Libya saat ini, telah menjadi sebuah arena teater global di mana kekuatan-kekuatan asing saling membantu satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Khalifa Haftar, menurut Al Jazeera, mendapatkan dukungan dari banyak pihak seperti UEA, Mesir, tentara bayaran dari Rusia, Arab Saudi, Prancis dan lainnya. Sedangkan pemerintah sementara Libya yang terbentuk pada bulan Maret tahun ini dan diakui PBB, mendapatkan dukungan utama dari Turki, Qatar, Italia dan lainnya.
Dengan campur tangan pasukan asing yang berada di Libya saat ini, profesor Mansour El-Kikhia, profesor hubungan internasional dan politik Timur Tengah di University of Texas menjelaskan kondisi negara tersebut kepada Lulu Garcia-Navarro dari NPR.
Menurut El-Kikhia dalam penjelasannya pada bulan Juni, kondisi infrastruktur Libya sangat bobrok, korupsi di mana-mana, makanan mahal, tidak ada keamanan dan tidak ada produktivitas sama sekali.
Dalam rincian penguasaan wilayah, El-Kikhia memproyeksikan jika masa depan Suram menghampiri Libya, maka akan ada semacam kekuatan asing yang menguasai beberapa bagian Libya.
Turki masih diharapkan di bagian barat Libya untuk mendukung pasukan pemerintah. Sedangkan Haftar masih berharap Rusia dan Mesir mendukungnya di bagian timur. Di bagian selatan Libya, kekuatan Prancis juga diperhitungkan.