39 Ribu Siswa Gaza Tidak Bisa Ikuti Ujian Akhir Sekolah akibat Perang

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Palestina mengatakan, perang di Gaza telah menghalangi 39 ribu siswa di sana untuk mengikuti ujian kelulusan sekolah yang diadakan pada Sabtu (22/6/2024).
Kementerian tersebut, yang berbasis di Tepi Barat yang diduduki, menambahkan bahwa sedikitnya 50.097 siswa sekolah menengah mengikuti ujian yang dikenal sebagai Tawjihi tahun ini, termasuk 1.320 siswa yang mengungsi dari Gaza.
“Saya sangat menantikan ujian tersebut, namun perang menghalanginya dan menghancurkan kegembiraan itu,” kata Baraa al-Farra, seorang siswa berusia 18 tahun yang mengungsi dari Khan Yunis di Gaza selatan, dikutip France24.
“Awalnya kami menunggu dengan harapan perang akan berakhir dan kami bisa mengejar ketertinggalan. Namun, kami tidak tahu berapa lama perang akan berlangsung atau berapa tahun situasi ini akan menghalangi kami dari pendidikan," tambahnya.
1. Lebih dari 85 persen sekolah di Gaza mengalami kerusakan
Dilansir The National, serangan militer Israel di Jalur Gaza, yang kini memasuki bulan kesembilan, telah berdampak buruk pada pendidikan di wilayah tersebut.
Menurut Global Education Cluster, sebuah forum yang dipimpin oleh badan anak-anak PBB UNICEF dan LSM Save the Children, lebih dari 625 ribu siswa kehilangan pendidikan atau akses terhadap lingkungan belajar yang aman akibat penutupan sekolah dan serangan terhadap fasilitas pendidikan sejak perang dimulai pada 7 Oktober.
Penilaian berbasis satelit yang dilakukan pada April menunjukkan bahwa lebih dari 85 persen sekolah di Gaza mengalami kerusakan pada tingkat tertentu. Selain itu, gedung-gedung sekolah kini telah digunakan sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi.
Juru bicara Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi, Sadiq Khadour, mengatakan bahwa 286 dari 307 gedung sekolah negeri telah rusak, termasuk puluhan di antaranya hancur.
Kehancuran tidak hanya mencakup bangunan saja, tetapi juga jaringan komunikasi dan listrik. Hal ini membuat prospek peralihan ke pendidikan online tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat.
2. Anak-anak di Gaza bingung dengan masa depan mereka
Liliane Nihad, remaja berusia 18 tahun yang mengungsi ke Khan Yunis dari Kota Gaza, mengatakan bahwa dia dan teman-temannya telah menunggu bertahun-tahun untuk mengikuti ujian kelulusan dan masuk universitas, namun harapan itu sirna akibat perang.
Nihad berharap dapat belajar bahasa Inggris dan mendapatkan gelar doktor.
“Saya berharap penyeberangan itu dibuka agar saya dapat melakukan perjalanan guna menyelesaikan pendidikan saya dan tidak menyia-nyiakan tahun-tahun saya, karena saya masih muda dan ingin mencapai ambisi saya," ujarnya.
Sejauh ini, mediasi telah gagal mengakhiri pertempuran, sehingga membuat generasi muda Gaza berada dalam ketidakpastian mengenai masa depan mereka. Untuk menunjukkan kemarahan mereka terhadap situasi tersebut, puluhan siswa dan guru mengadakan protes di lingkungan Al-Rimal Kota Gaza pada Sabtu.
Mereka meneriakkan "Kami menuntut hak kami untuk mengikuti ujian sekolah menengah" dan "Kami ingin buku, bukan bom”. Kursi-kursi kosong juga disusun sedemikian rupa untuk melambangkan para siswa yang tewas akibat perang.
3. Sekitar 8 ribu siswa dan 350 guru tewas di Gaza
Menurut Kementerian Pendidikan, sedikitnya 8 ribu anak usia sekolah dan 350 guru tewas di Gaza, dan lebih dari 12.500 siswa terluka.
Dilaporkan kantor berita Wafa, kementerian berencana menggelar sesi ujian khusus untuk siswa sekolah menengah setelah kondisi di Gaza memungkinkan dan kurikulum minimum yang diperlukan dapat diajarkan.
Kementerian juga akan melakukan penilaian terhadap kerusakan pada lembaga pendidikan dan mengidentifikasi lokasi ruang kelas sementara. Berdasarkan estimasi awal, Gaza membutuhkan sedikitnya 4.500 ruang kelas tambahan, yang beroperasi dalam dua shift untuk mengakomodasi semua siswa.