Pengungsi etnis Rohingya saat proses evakuasi oleh TNI AL di Pelabuhan ASEAN, Krueng Geukuh, Aceh Utara, Aceh, Jumat (31/12/2021). (ANTARA FOTO/Rahmad)
Tak lama setelah Myanmar merdeka dari Inggris pada 1948, Undang-Undang Kewarganegaraan menentukan etnis mana yang memperoleh status warga negara.
Menurut laporan HAM Internasional di Yale Law School pada 2015, etnis Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Namun, undang-undang tersebut mengizinkan mereka yang keluarganya telah tinggal di Myanmar setidaknya selama dua generasi untuk mengajukan kartu identitas.
Rohingya pada awalnya diberi identifikasi atau bahkan kewarganegaraan berdasarkan ketentuan generasi. Selama ini, beberapa orang Rohingya juga bertugas di parlemen.
Setelah kudeta militer tahun 1962 di Myanmar, banyak hal berubah secara dramatis bagi etnis Rohingya.
Semua warga negara diwajibkan untuk mendapatkan kartu registrasi nasional. Namun, warga Rohingya hanya diberikan kartu identitas asing, sehingga membatasi kesempatan kerja dan pendidikan yang dapat mereka peroleh.
Pada 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan baru disahkan, yang secara efektif menjadikan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. Berdasarkan undang-undang tersebut, Rohingya sekali lagi tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di negara tersebut.
Akibat undang-undang tersebut, hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama, dan mengakses layanan kesehatan telah dan terus dibatasi.