Kantor berita Palestina mengatakan bahwa IDF semakin memperketat cengkeraman di Tepi Barat yang diduduki. IDF mendirikan lebih banyak pos pemeriksaan di kota-kota besar, dari Jericho hingga Ramallah. Itu menyebabkan kemacetan lalu lintas dan mencegah pergerakan melintasi wilayah tersebut.
Dilansir Al Jazeera, IDF juga melakukan penangkapan terhadap 22 warga Palestina antara Rabu (22/1/2025) malam dan Kamis (23/1/2025) pagi.
Menurut Commission of Detainees and Ex-Detainees Affairs and the Palestinian Prisoner’s Society, penangkapan itu terjadi di provinsi Hebron, Nablus, Tulkarem, Ramallah dan Yerusalem. Penangkapan melibatkan penyalahgunaan dan penghancuran infrastruktur serta vandalisme dan penghancuran rumah warga.
Kementerian Luar Negeri Otoritas Palestina (PA) menuduh Israel menerapkan hukuman kolektif. Serangan terbaru disebut bagian dari rencana Israel untuk secara bertahap mencaplok Tepi Barat.
Direktur Norwegian Refugee Council (NRC) untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Angelita Caredda, mengatakan bahwa IDF menggunakan pola operasi yang menggemakan taktik di Gaza.
"Kami melihat pola-pola yang mengganggu dari penggunaan kekuatan yang tidak sah di Tepi Barat yang tidak perlu, tidak pandang bulu, dan tidak proporsional," ujarnya.
NRC juga menjelaskan bahwa eskalasi Tepi Barat bertepatan dengan upaya PA untuk menegaskan kendali Jenin dan menargetkan kelompok bersenjata Palestina yang membenci kekuasaannya.
Serangan pasukan yang berafiliasi dengan PA sejak Desember 2024, telah membuat tiga perempat penduduk Jenin mengungsi.