Pasukan AS di Suriah dengan koalisinya, SDF, untuk melawan ISIS. (twitter.com/Coordination and Military Ops Center - SDF)
Strategi Devide et Impera agaknya sudah sering didengar dalam berbagai buku pelajaran sekolah. Istilah ini awalnya digunakan oleh kekaisaran Yunani Kuno. Penguasa Romawi, Julies Caesar, menerapkan langsung strategi ini dalam perangnya.
Dikutip dari laman Scholarly Community Encyclopedia, Divide et Impera dilakukan dengan cara menciptakan perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berpotensi berkoalisi. Dalam sejarah Indonesia sendiri, strategi ini digunakan oleh pihak kolonial Eropa untuk mematahkan perjuangan rakyat Indonesia.
Saat ini, di era perang modern, strategi ini tampaknya masih sering digunakan. Salah satunya adalah dalam perang Suriah yang berlangsung sejak tahun 2011 hingga saat ini.
Peneliti Sejarah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, dalam penelitiannya berjudul “Strategi Devide et Impera oleh Amerika Serikat dalam Konflik di Suriah (2011-2018)” mengemukakan bahwa Amerika Serikat (AS) menggunakan taktik ini dalam kasus Suriah dengan mendukung salah satu pihak. Kepentingan AS untuk melawan pemerintahan Bashar Al Assad dan milisi yang pro dengannya membuatnya harus mendukung kekuatan oposisi moderat yang pro nilai-nilai Barat.
Adapun contoh milisi yang didukung AS adalah Syrian Democratic Forces (SDF) yang didominasi oleh milisi Kurdi, Maghawir al-Thawra (MaT) atau kelompok milisi Suriah yang didukung AS dan beroperasi di daerah gurun al-Tanf, dekat perbatasan Suriah-Irak-Yordania, serta New Syrian Army (NSA) yang beroperasi di Suriah tenggara.