Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
anak-anak di Gaza mengantre untuk makanan. (UNRWA, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)
anak-anak di Gaza mengantre untuk makanan. (UNRWA, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan 57 warga Palestina telah meninggal akibat kelaparan. Kematian ini terjadi karena blokade total Israel yang telah berlangsung selama 63 hari sejak 2 Maret 2025. Mayoritas korban adalah anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis, dengan jumlah yang dikhawatirkan akan terus bertambah.

Melansir Andolu Agency, pemerintah Gaza menuduh Israel sengaja menggunakan kelaparan sebagai strategi perang. Mereka mendesak komunitas internasional untuk segera bertindak membuka semua perbatasan dan memastikan masuknya bantuan pangan serta obat-obatan.

Blokade ini menjadi penutupan terlama yang pernah dihadapi Gaza. Selain blokade bantuan, serangan Israel juga terus berlanjut dengan menewaskan setidaknya 70 warga Palestina sepanjang Kamis-Sabtu (1-3/5/2025). 

1. Ribuan anak mengalami malnutrisi

Bayi perempuan bernama Janan Saleh al-Sakafi tercatat sebagai korban terbaru yang meninggal akibat malnutrisi dan dehidrasi di Rumah Sakit Rantisi, barat Kota Gaza. 

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan lebih dari 9 ribu anak telah dirawat di rumah sakit karena malnutrisi akut sejak awal tahun. 

Mayoritas penduduk Gaza kini menderita anemia akibat kekurangan gizi berkepanjangan. Ahmad al-Najjar, pengungsi di Kota Gaza, mengaku semakin kesulitan memperoleh makanan.

"Mencari makanan untuk satu kali makan saja sudah sangat sulit sekarang. Kami melihat banyak lembaga amal satu per satu mengumumkan kehabisan stok dan berhenti beroperasi karena tidak punya lagi bantuan untuk dibagikan kepada penduduk," tuturnya.

2. Ratusan truk bantuan tertahan di perbatasan

Menurut laporan Al Jazeera, terdapat antrean panjang truk bantuan yang tertahan di perbatasan Mesir-Gaza. Antrean tersebut membentang hingga 45 kilometer dari penyeberangan Rafah, melewati kota Arish.

"Sungguh menyakitkan melihat truk-truk penuh bantuan menumpuk di balik pagar sementara orang-orang termasuk anak-anak berada dalam kondisi memprihatinkan," ucap Ahmad al-Najjar.

Kelangkaan pasokan telah mendorong harga bahan makanan pokok melonjak tajam di pasar-pasar lokal. Hanya mereka yang masih memiliki uang yang bisa membeli makanan.

Jurnalis Al Jazeera, Hani Mahmoud, melaporkan bahwa ia menyaksikan anak-anak Gaza mencari sisa makanan kaleng di tempat sampah. Menurutnya, Gaza telah mencapai titik kritis karena organisasi internasional telah kehabisan persediaan.

3. Sistem kesehatan di ambang kehancuran

pemandangan reruntuhan di Gaza. (pixabay.com/hosnysalah)

Suhaib al-Hams, direktur Rumah Sakit Kuwait di Rafah, menyatakan layanan kesehatan Gaza kekurangan lebih dari 75 persen obat penting.

"Persediaan obat hanya cukup untuk sekitar satu minggu. Sebagian besar layanan medis di wilayah ini akan berhenti tanpa intervensi segera untuk membuka perbatasan dan memungkinkan bantuan medis masuk," jelasnya.

Pasien-pasien dengan berbagai kondisi kesehatan sekarat perlahan tanpa pengobatan yang memadai. Banyak penderita penyakit kronis seperti kanker dan gagal ginjal tidak mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.

Para pendonor darah di Gaza juga turut mengalami anemia sehingga menghambat pelayanan gawat darurat. Rumah sakit yang masih beroperasi sangat terbatas dan dikelola relawan dengan peralatan minim, dilansir Xinhua.

Pemerintah Gaza menyatakan bahwa situasi ini sudah melewati batas bencana kemanusiaan biasa dan masuk kategori pelanggaran hukum internasional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorLeo Manik