Sejak ledakan pelabuhan Beirut pada tahun 2020 lalu, kondisi ekonomi Lebanon semakin parah. Kebutuhan dasar seperti air, listrik dan gas mulai langka. IMF sudah membuat rencana penyelamatan Lebanon pada Juli tahun lalu tapi gagal.
Masyarakat internasional sejauh ini terlihat terus menahan bantuan pembangunan Lebanon kecuali negara itu menerapkan reformasi ekonomi dan struktural. Selama 11 bulan terakhir, Lebanon belum dipimpin oleh pemerintahan penuh karena berbagai masalah.
Pemerintahan sementara saat ini yang dipimpin oleh Presiden Michel Aoun pada akhir Juni lalu mengatakan diaspora Lebanon yang saat ini berada di luar negeri memiliki "peran dalam membantu merevitalisasi ekonomi."
Hal ini karena, remitansi atau biaya pengiriman uang dari luar negeri ke Lebanon memberikan suntikan pendapatan yang penting. Pada tahun 2018 lalu, Al Jazeera melaporkan bahwa remitansi hampir setara 13 persen dari seluruh produk domestik bruto.
Ada jutaan warga Lebanon yang bekerja di luar negeri dan saat ini banyak di antaranya yang ngeri mendapatkan kabar dari teman dan keluarga mereka yang ada di Lebanon. Salah satu warga Lebanon di luar negeri Philippe Aftimos yang jadi dokter di Brussel. Ia khawatir dengan nasib keluarganya dan pulang dengan memenuhi koper dengan obatan-obatan.
"Saya tidak ingin hidup dalam kecemasan ketidakpastian (atas kesehatan keluarga saya),” kata Aftimos. Aftimos mengaku terus memperhatikan kabar Lebanon dari tempatnya bekerja dan "saya mengalami patah hati setiap pagi."
Seorang ekspatriat Lebanon yang lain bernama Hadi Chalhoub. Dia bekerja di Atlanta, Amerika Serikat untuk menjadi arsitek interor. Chalhoub berkunjung ke Lebanon yang dilanda krisis untuk melihat keluarga dan teman-teman, sambil memenuhi kopernya dengan obat penghilang rasa sakit, obat diabetes, obat tetes mata, dan pil serta tablet lainnya.
Obat-obatan telah hilang dari rak-rak toko farmasi karena habis dan stok tidak bisa datang sebab importir tidak memiliki dolar yang cukup untuk membayar barang dari luar negeri.